- 1. Kaisaniyah
Kaisaniyah
adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah
wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin
Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu.[9]
Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah
Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi,
al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan
dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang kibar
sahabat yang sangat mencintai Ali. [10]
Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu,
kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib
dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap
Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok
ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah
mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi
jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang
termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan
menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As
Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu.
Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada
Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al
Imam, as Saffah dan al Mansur.[11]
Sekte
Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah
ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu,
terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin
Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.[12]
2. Syi'ah
Zaidiyah
Sekte
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin
Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung
Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin.
Beliau merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan,
kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini,
para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah
(Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan
darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At
Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[13]
Dimasa Zaid
inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai dikenal. Al
Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat
tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan
Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan
para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin
seraya bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar
dan Umar ?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak
pernah mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada
keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan
(keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang
menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid.
Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[14] Imam Amhad rahimahullah juga
pernah ditanya oleh anaknya tentang siapa Rafidhah itu ?, maka beliau menjawab;
"Mereka adalah orang-orang yang menghina dan menghujat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu'anhuma.
Juga dalam waktu lain beliau berkata; "Mereka adalah yang memusuhi Abu
Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma." Berkata pula Abul Hasan Al
As'ary bahwa sesungguhnya mereka dinamakan Rafidhah karena penolakan mereka
terhadap kekhaliafahan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma.[15]
Pada tahun
122 H, Zaid sempat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Hisyam bin Abdul
Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah yang terkenal dzalim. Pada
saat itulah Zaid wafat dalam pertempuran yang tak seimbang. Abul A'la al
Maududi menyebutkan peristiwa terbunuhnya Zaid bin Ali tersebut di dalam
bukunya Al Khilafah wa al Mulk melalui penjelasan Imam At Thabari dalam Tarikh-nya
(Jilid 2, hlm. 482,505). Menurut riwayat Imam At Thabari, pada tahun 120 H /
378 M Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memecat Khalid bin Abdullah al Qasari
(salah seorang pejabat di Iraq) dengan mengadakan penyelidikan dan perhitungan
ketat dengannya. Maka diundanglah Zaid (sebagai seorang yang terkenal ke alimannya)
dari kota Madinah ke Kuffah untuk memberikan kesaksian atas permasalahan ini.
Kota Kuffah saat itu di kenal sebagai basis pendukung Ali (syi'ah) yang telah
lama menantikan tokoh dari ahlul Bait untuk merubah nasib mereka dari
tekanan serta kezaliman pemerintahan Umawiyah. Maka kedatangan Zaid ke kota itu
menjadi sebuah momentum yang baik untuk melakukan gerakan perlawanan kepada
khalifah. Maka penduduk Kuffah mengatakan kepada Zaid bahwa terdapat sekitar
100 ribu orang yang akan berada disampingnya. Oleh kerenanya di kumpulkanlah
manusia sebanyak 15 ribu orang dan membai'atnya saat itu juga. Merekapun
menulis nama-nama mereka dalam daftar yang panjang. Gerakan perlawanan ini
ternyata berhasil tercium oleh Khalifah sebelum waktu yang ditentukan untuk melakukan
perlawanan. Maka setelah mendengar informasi ini, Zaid berinisiatif untuk
mendahulukan jadwal perlawanan dari yang ditetapkan lebih awal (Safar, 122 H).
Namun ketika perang terjadi, pendukung Ali yang berasal dari Kuffah tiba-tiba
meninggalkan Zaid sehingga hanya tersisa 218 orang saja. Dalam pertempuran
inilah Zaid rahimahullah gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu Hanifah yang
hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya
aku yakin bahwa rakyat akan tetap berdiri secara tulus disampingnya dan tidak
akan meninggalkannya, niscaya aku juga akan ikut bersamanya dan berjuang
memerangi orang-orang yang menentangnya, sebab dia adalah imam yang haq. Tetapi
aku khawatir mereka akan menelantarkannya sebagaimana mereka telah berbuat
terhadap datuknya (Husein bin Ali bin Abi Thalib). Bagaimanapun akau akan
membantunya dengan hartaku, sehingga dia akan menjadi semakin kuat melawan
musuh-musuhnya (Al Makki, Manaqib Imam A'zham Abu Hanifah, Jilid 5, hlm.
487,491)."[16]
Setelah
wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau
sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama
Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan
terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah
(dijuluki; An Nafs Az Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia
wafat, Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka
sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang
khalifah dinasti Bani Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah
mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan
kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak
cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan.
Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia
melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk
agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan
mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi'ah
Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah
itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah. Menurut keyakinan mazhab
Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s.,
alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi
kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan
keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa
al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah
al mafdhul ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah
derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada).[17]
Dalam perkembangannya Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan
kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka
tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam
bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu'
ia menganut paham Hanafiyah.[18]
Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan
Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah.
Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh
dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[19]
Sekte-sekte
yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah,
Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah.[20]
Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte
ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya,
namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara
tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali
dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at Tahdzib (hlm. 386) menyebutkan
dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan ia termasuk dalam
kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk orang-orang ghuluw
yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih faham mengenai kepemimpinan
setelah Ali dalam jumlah yang banyak.[21]
Sementara
itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini
beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura.
Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu
Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali.
Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a
wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul
Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka
juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah
berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.[22]
Pecahan lain
dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut
dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan
Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara
umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja
mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan.
Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni.
Oleh karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih
Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan
sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan
ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab
diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh (Tahdzib at
Tahdzib, hlm. 285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253).[23]
3. Syi'ah
Ghulat
Syi'ah
Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah
pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan
kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam
pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi,
bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah
Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil
beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna
Tuhan. Sebahagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar
oleh Khalifah Ali, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin
Saba' dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang
menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak
menuntut kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok
Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al
Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu
Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah seperti
Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq (hlm. 10-21), sebagai
seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar,
Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal itu juga diakui
oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi (hlm. 170-174).[24]
Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal
Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari
penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim.[25]
Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman
Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut
mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya
dan Kilat adalah senyumnya.[26]
Kelompok
lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski
tak seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat
Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat
dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima
kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa
mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[27]
4. Syi'ah
Imamiyah
Secara garis
besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah
melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat.
Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan
Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa
golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 adalah yang tebesar, disusul
Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan
yang cukup signifikan.
Syi'ah
Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di
Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah
setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan.[28]
Beberpa doktrin bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya; perintah
syari'at Islam hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah
seorang mujaddid, para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar
dengan Nabi dan Rasul, al Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang
tertentu karena memiliki arti lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi
sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar
dari perpaduan ajaran syi'ah dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala
Ikhwan as Shafa.[29]
[11]
Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam
Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri,
2008, hlm. 54[12] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid V, hlm. 7
[13] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996, Jilid, 10, hlm. 96-98
[14] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999, Jilid 9, hlm. 382
[15] Abdullah bin Ibrahim bin Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafidhah, Riyadh: Dar Al Fadhilah, 2004, hlm. 39
[16]Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung: Mizan, 2007, hlm. 308
[17] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 55
[18] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 246
[19] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, hlm. 382
[20]Terkadang namanya dinisbatkan pula kepada; an Nahdy, ats Tsaqafi, al Kufi, al Hamdhani, al Khurasani, (W. antara th. 150-160 H)
[21] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 255
[22] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 259
[23] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 261
[24] Abdullah bin Saba' adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu'anhu.keberadaannya juga diakui oleh ulama Syi'ah lainnya seperti An Naubakhti, Al Kusyi, Abdullah Al Nasyi' Al Akbar (rujukan tertua bagi kaum Syi'ah) dan lain-lain termasuk buku-buku kontemporer. Lihat, Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002, hlm. 6-7
[25] Abdullah bin Muhammad, Min 'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap Sunnah, tt, hlm. 4
[26] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 58
[27] Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta: Penerbit Minaret, 1987, hlm. 25. lihat juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V, hlm. 10.
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 65-66
[29] Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 129. Isma'iliyah berpendapat bahwa pengetahuna itu ada yang lahir dan yang bathin. Sementara yang terpenting itu adalah aspek batin. Oleh kerenanya mereka juga disebut kelompok bathiniyah. Beberapa doktrin yang mereka tentukan diarahkan memperkuat posisi mereka dan mengklaim al Mahdi ada dalam keturunan Fathimiyah (mereka sendiri). Lihat; Muhammad Al Bahy, Al Fikr al Islamy fî Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta: Bulan Bintang, 1987, hlm. 41-42
c.
Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun
ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
ekstrim dan moderat.
Pertama,
aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya
adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan
melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya
Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan
dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia
seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat
dengan indera mata di akherat kelak.[[1][12]]
Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah
Khalisah.[[2][13]]
Ja'ad bin
Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran
adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[3][14]]
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah,
tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai
kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah.
Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan
kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua,
ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan
manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di
dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang
dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi
manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti
ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat.
Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan
dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh
dua pihak.[[4][15]]
C. ALIRAN QADARIYAH
( FREE WILL AND FREE ACT(
Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah
secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan
dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah.
Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam
mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini
berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan.[[5][16]]
Menurut
Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham
Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu
melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[[6][17]]
Sejarah
lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih
merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar
teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [[7][18]]
Ibnu Nabatah
menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada
mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama
Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib.
Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham
Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah
Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[8][19]]
Ditinjau
dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan
pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara
saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu
tertampung dalam Muktazilah.[[9][20]]
d. Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun
Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula
yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[10][21]]
Dengan
demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya
sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak
mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini
disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan
balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri,
bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[11][22]]
Faham takdir
yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang
dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib
manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya
bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya.
Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam
semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah
Alquran adalah sunnatullah.
Secara
alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti
hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip
seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak
mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Doktrin Qadariyah pada dasarnya mengatakan bahwa segala tindakan manusia
dilakukan atas kehendaknya sendiri, manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun
perbuatan jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan
yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya.
Menurut
Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan
tidak memiliki kemampuan memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan
manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun diri manusia tetap
mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik dan jahat yang
dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya
perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.
secara
terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari
Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr
bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
Munculnya
aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan
aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar
Yazid Bin
Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2. Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
C. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
2. Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
C. Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah
Asy’ariyah
Karena
adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari
paham Mu’tazilah.Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia
menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran
Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan,
tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan
menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits
dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat
dilihat dengan mata.
a. Al-Baqilany
( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu
Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran
gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya
dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan /
persiapan).
b. Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M
)
Ads by Keep NowAd Options
Namanya Abu
al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar,
dan akhirnya sampai ke negara Bagdad. Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan
Al-Asy’ary dalam menjujung setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang
menjadikan marahnya para ahli-ahli hadist. Akhirnya ia sendiri terpaksa
meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah
untuk mengajarkan pelajaran disana. Karena itu ia mendapat gelar “Imam
Al-Haramain” ( Imam kedua tanah suci, Makkah dan Madinah ) setelah Nizamul-Mulk
memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah Nizamiyah di Nisabur al-Juwaini
diminta kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran disana.
c. Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama
lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus,
sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan
yang pernah dipegagnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan
Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah sangat penting, karena ia telah meninjau
semua persoalan yang pernah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga
kini masih dipegangi Ulam-ulama Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan
“Hujjatul Islam”.
d. As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-1499 )
Nama
lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah
kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain
terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan pelajaranya di kota Al-Jazair
pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman ats-Tsa’laby.
Ulama
Maghrib menganggap ia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang
banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu Tauhid).
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika
dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas
yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun
demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki
kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu
pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat
kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang
condong kepada Asy’ariyah.
Kesimplan
Berdasarkan
penjelasan diatas, golongan al-Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan
Samarkand dan Bukhara. Demikian pemikiran atau doktrin-doktrinnya juga berbeda,
dalam masalah akal dan wahyu Maturidiyah Samarkand,bahwa akal lebih tinggi
disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran
Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal. Sedangkan Maturidiyah Bukhara
bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain
kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
Bgitu juga dengan
sifat Tuhan golongan Samarkand berpendapat Tuhan
mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan
pengetahuannya. Begitu juga Tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui
perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah,
bahwa manusialah sebenarnya menwujudkan perbuatan-perbutannya. Adapun Bukhara berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar