Rabu, 18 Juni 2014

Sad az zar'iah dan qaul shahabi

Makalah
SAD AZ-ZARI’AH DAN QAUL SHAHABI


Disusun oleh:
Febriansyah/13631031

Dosen pembimbing
H.M.Abu Dzar,Lc. M.H.I

Program Studi Perbankan Syariah
Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup
2014






DAFTAR ISI
A.    KATA PENGANTAR ..................................................................................
B.     DAFTAR ISI ..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar belakang ................................................................................................
B.     Rumusan Masalah ..........................................................................................
C.    Tujuan ..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Az-Zari’ah ....................................................................................
B.     Kedudukan Az-zari’ah ...................................................................................
C.    Dasar hukum Az-zariah .................................................................................
D.    Macam-macam Az-zariah ..............................................................................
E.   Pengertian mazhab  al-Shahabi .....................................................................
F.     Macam-macam al-Shahabi ............................................................................
G.    Pengguna kehujjah mazhab al-Shahabi terhadap pandangan ulama .......
H.     penggunaan mazhab al-Shahabi oleh para Imam mazhab ........................
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ......................................................................................................
B.     Saran ................................................................................................................
C.    Daftar pustaka .................................................................................................











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks.
Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ahmerupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak. Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum salah satunya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang fatwa sahabat ini.

B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian Sad Az-zari’ah ?
2.      Bagaimana kedudukan Sad Az-zari’ah ?
3.      Apa dasar hukum Sad Az-zari’ah ?
4.      Macam-macam Sad Az-zari’ah ?
5.      Apa pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi?
6.      Macam-macam (qaul) al-Shahabi?
7.      Pengguna kehujjah mazhab (qaul) al-Shahabi terhadap pandangan ulama ?
8.       penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab?
C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui pengertian Sad Az-zari’ah
2.      Mengetahui kedudukan Sad Az-zari’ah
3.      Mengetahui dasar hukum Sad Az-zari’ah
4.      Mengetahui macam-macam Sad Az-zari’ah
5.      Mengetahui pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi.
6.      Mengetahui macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi.
7.      Memperoleh pengetahuan tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi
8.      Mengetahui tentang penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.





















BAB II
Pembahasan
A. PENGERTIAN SAD DZARI’AH
            1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah  merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd  dan adz-dzari’ah . Secara etimologis, kata as-sadd  merupakan kata benda abstrak(mashdar) dari Sadda yasyuddu sadda
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dariadz-dzari’ah  adalah adz-dzara’i. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[1]
2. Secara Terminologi 
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan(mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariahsebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya. 
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang[2].

B. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum(istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya,sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbathpada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.[3]
C. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1.      Alquran
Ÿwur (#q7Ɲ¡n@ šĆŗĆÆƏ%©!$# tbqĆ£Ć£Ć“tƒ `ƏB ƈbrƟŠ «!$# (#q7Ɲ¡uŠsĆ¹ ©!$# #JrĆ“tĆ£ ƎŽĆ¶tĆ³ĆŽ/ 5OĆ¹=ĆĆ¦ 3 y7Ə9Āŗxx. $¨Y­ƒy ƈe@Ƥ3Ə9 >p¨BĆ©& Ć³OƟgn=uHxĆ„ §NĆØO 4n<Ǝ) Nƍkƍh5u Ć³OƟgĆ£ĆØƅ_Ć³£D OƟgĆ£¥ĆŽm7t^Ć£sĆ¹ $yJƎ/ (#qƧR%x. tbqĆØ=yJ÷ĆØtƒ ƇƊƉƑƈ  
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ahyang akan menimbulkan  adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah). 
$ygƒr'¯»tƒ šĆŗĆÆƏ%©!$# (#qĆ£YtB#uƤ Ÿw (#qƤ9qĆ )s? $uZĆĆ£Āŗu (#qƤ9qĆØ%ur $tRƶĆĆ R$# (#qĆ£ĆØyJĆ³$#ur 3 šĆŗĆÆƌĆĆæ»x6Ć¹=Ə9ur Ć«>#xtĆ£ ƒOŠĆ9r& ƇƊƉƍƈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).[4] 
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina  berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata raa’inan  sebagai bentuk isim fail darimasdar kata  ru’unah  yang berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.[5] 
2.      Sunah
Ų¹َŁ†ْ Ų¹َŲØْŲÆِ Ų§Ł„Ł„َّŁ‡ِ ŲØْŁ†ِ Ų¹َŁ…ْŲ±ٍŁˆ Ų±َŲ¶ِŁŠَ Ų§Ł„Ł„Ł‡ُ Ų¹َŁ†ْŁ‡ُŁ…َŲ§ Ł‚َŲ§Ł„َ Ł‚َŲ§Ł„َ Ų±َŲ³ُŁˆŁ„ُ Ų§Ł„Ł„Ł‡ِ ŲµَŁ„َّŁ‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ُ Ų¹َŁ„َŁŠْŁ‡ِ ŁˆَŲ³َŁ„َّŁ…َ Ų„ِŁ†َّ Ł…ِŁ†ْŲ£َŁƒْŲØَŲ±ِ Ų§Ł„ْŁƒَŲØَŲ§Ų¦ِŲ±ِ Ų£َŁ†ْ ŁŠَŁ„ْŲ¹َŁ†َ Ų§Ł„Ų±َّŲ¬ُŁ„ُ ŁˆَŲ§Ł„ِŲÆَŁŠْŁ‡ِ Ł‚ِŁŠŁ„َ ŁŠَŲ§ Ų±َŲ³ُŁˆŁ„َ Ų§Ł„Ł„Ł‡ِ ŁˆَŁƒَŁŠْŁَ ŁŠَŁ„ْŲ¹َŁ†ُ Ų§Ł„Ų±َّŲ¬ُŁ„ُ ŁˆَŲ§Ł„ِŲÆَŁŠْŁ‡ِ Ł‚َŲ§Ł„َŁŠَŲ³ُŲØُّ Ų§Ł„Ų±َّŲ¬ُŁ„ُ Ų£َŲØَŲ§ Ų§Ł„Ų±َّŲ¬ُŁ„ِ ŁَŁŠَŲ³ُŲØُّ Ų£َŲØَŲ§Ł‡ُ ŁˆَŁŠَŲ³ُŲØُّ Ų£ُŁ…َّŁ‡ُ
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.[6]
3.      Kaidah Fikih  
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah: 
ŲÆَŲ±ْŲ”ُ Ų§Ł„ْŁ…َŁَŲ§Ų³ِŲÆِ Ų£َŁˆْŁ„َŁ‰ Ł…ِŁ†ْ Ų¬َŁ„ْŲØِ Ų§Ł„ْŁ…َŲµَŲ§Ł„ِŲ­ِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsurmafsadah yang harus dihindari.[7]
4.      Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lĆ¢m al-MĆ»qi’Ć®n: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”
 D.  MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:
1.      Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah)yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan(maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga. 
2.      Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3.      Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.
E. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1.      Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.   
2.      Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
F. Pengertian Qaul Shahabi
Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada juga yang menamakannya dengan  fatwa shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahabi menempatkan pada pembahasan tentang dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan ada yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal ini menunjuukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.
Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dansunnah Rasulullah.[8]

G. Macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi
       Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masing-masing. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabiyang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
Adapun Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan Ushuliyyin dan fuqahamengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.[9]
 H. Kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati.  Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atastabi’n dan orang-orng setelah tabi’in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:
Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadihujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT.
 Ć¶NƧGZƤ. uŽĆ¶yz >p¨BĆ©& Ć“My_ƌ÷zĆ©& Ƅ¨$¨Y=Ə9 tbrĆ¢ĆŸDĆ¹'s? ƅ$rĆ£÷ĆØyJĆø9$$Ǝ/ šcƶqyg÷Ys?ur Ƈ`tĆ£ ƌx6ZƟJĆø9$# ƇƊƊƉƈ 
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”.(QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka menganjurkanma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis Rasul:
“Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”.
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat (qaulussshahabi)  secara mutlak tidak dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur As            ya’iyahdan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah firma Allah:
 (#rƧŽĆ‰9tFĆ“Ć£$$sĆ¹ ƍ<'rĆ©'¯»tƒ ƌ»|Ɓƶ/F{$# ƇƋƈ  
Artinya: 
“. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS. al-Hasyr: 2)
Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar (pelajaran). Yang dimaksudi’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad, sedangkan dalam hal mujtahid sama saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan sahabat.[10]
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubahayat 100:
šcqĆ )Ǝ6»¡¡9$#ur tbqƤ9¨rF{$# z`ƏB tĆ»ĆÆƌĆ‰f»ygƟJĆø9$# ƍ$|ƁRF{$#ur tĆ»ĆÆƏ%©!$#ur NĆØdqĆ£ĆØt7¨?$# 9`»|¡Ć“mƎ*Ǝ/ šĆ…ĆŒ§ ĀŖ!$# ƶNĆ„k÷]tĆ£ ƇƊƉƉƈ  
Artinya:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka” (QS.  at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yangberbunyi: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah  karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifatal-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’. Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in  berkata bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam bentuk:
1.      Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2.      Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3.      Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
4.      Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5.      Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilahhujjah yang wajib diikuti
6.      Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah[11].
I. Penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.
Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.
1.      Imam Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat,  dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia  kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.”
2.      Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.[12]
1.      Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabiyang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas.Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya
2.      Imam Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 ). Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabiyang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i. Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas.Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar.  Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya[13].






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
Mazhab Sahabat yang lazimnya juga disebut qaul al-Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-masalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
       Tidak semua qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para ulama. Tetapi qaul al-Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan tersebut.
       Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
B.     Saran

Dalam penulisan makalah ini  saya merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga saya mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca  demi kesempurnaan makalah ini. Supaya bisa membuat makalah selanjutnya yang lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam. Dan memberikan banyak dapat positif bagi sang pembaca.







DAFTAR PUSTAKA
al-hanafi, abd al-ghani al-ghanami ad-dimasyqi;. (1997). al-lubab fi syarh al kitab. Beirut: dar al-ma'rifah.
al-ja'fi, m. b.-b. (1987). al-jami' ash-shahih al-mukhatashar. Beirut: dar ibn katsir.
al-mishri, muhammad bin mukarram bin manzhur al-afriqi;. (1994). lisan al-arab. Beirut: dar shadir.
as-suyuthi, jalaluddin;. (1986). al-asybah w an nazhair. Beirut: dar al-kutub al-llmiyyah.
dahlan, Abd rahman;. (2010). ushul figh. Jakarta: Amzah.
fatchurrahman, mukhtar yahya ;. (1986). dasar-dasr pembinaan hukum islam. Bandung: PT Al-Ma'arif.
khallaf, abdul wahhab;. (1978). ilmu ushul figh. Kuwait: An-nasyr wattawzi.
umam, khairul dkk;. (2000). ushul fiqih I. Bandung: Pustaka setia.                            
zahrah, muhammad abu;. (2008). ushul figh. Jakarta: Pustaka firdaus.
 Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5,

 Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1





       [1] Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, 1994), juz 3, hal. 207.
       [2] Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219
       [3]. Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab,(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1, hal. 465
        [4] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56
        [5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
       [6] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1986), hal. 176.
       [7] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347
       [8] Abdul Wahhab Khallaf,  Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’, 1978), hal. 21.
       [9] Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),cet ke-2 hal. 182.
       [10]  Ibid, hal. 184-185.
       [11] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010),cet ke-1 hal. 225.
    [12] Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit hal. 226.
[13] uhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008),cet ke-12,hal. 332-334.

1 komentar: