Makalah
SAD AZ-ZARI’AH DAN QAUL SHAHABI
Disusun oleh:
Febriansyah/13631031
Dosen pembimbing
H.M.Abu Dzar,Lc. M.H.I
Program Studi Perbankan Syariah
Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Curup
2014
DAFTAR ISI
A.
KATA PENGANTAR
..................................................................................
B.
DAFTAR ISI
..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
................................................................................................
B.
Rumusan Masalah
..........................................................................................
C.
Tujuan ..............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Az-Zari’ah
....................................................................................
B.
Kedudukan Az-zari’ah
...................................................................................
C.
Dasar hukum Az-zariah
.................................................................................
D.
Macam-macam Az-zariah
..............................................................................
E.
Pengertian mazhab al-Shahabi
.....................................................................
F.
Macam-macam al-Shahabi
............................................................................
G.
Pengguna kehujjah mazhab al-Shahabi terhadap pandangan ulama
.......
H.
penggunaan mazhab al-Shahabi
oleh para Imam mazhab ........................
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ......................................................................................................
B.
Saran
................................................................................................................
C.
Daftar pustaka .................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Dalam perjalanan sejarah Islam,
para ulama mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang
sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun
as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita
sosial yang semakin hari semakin kompleks.
Berbagai persoalan baru bermunculan
yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.Di
antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd
adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd
adz-dzari’ahmerupakan upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk
kekayaan khazanah intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak
dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain Islam, tidak ada agama yang
memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya
yang sedemikian banyak. Berdasarkan telah
ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an,
al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah
sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa
urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an,
kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat al-Qiyas.
Akan
tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas
ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di
antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan
hukum syara’ dan sebagian yang lain mengingkarinya.
Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya sebagai hujjah dalam
menetapkan suatu hukum salah satunya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi. Sehingga,
dalam makalah ini kami akan membahas tentang fatwa sahabat ini.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Sad Az-zari’ah ?
2. Bagaimana kedudukan Sad Az-zari’ah ?
3. Apa dasar hukum Sad Az-zari’ah ?
4. Macam-macam Sad Az-zari’ah ?
5. Apa pengertian dari mazhab (qaul) al-Shahabi?
6. Macam-macam (qaul)
al-Shahabi?
7. Pengguna kehujjah mazhab (qaul) al-Shahabi terhadap pandangan ulama ?
8.
penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh
para Imam mazhab?
C. Tujuan
penulisan
1.
Mengetahui pengertian
Sad Az-zari’ah
2.
Mengetahui kedudukan
Sad Az-zari’ah
3.
Mengetahui dasar
hukum Sad Az-zari’ah
4.
Mengetahui
macam-macam Sad Az-zari’ah
5.
Mengetahui pengertian
dari mazhab (qaul) al-Shahabi.
6.
Mengetahui
macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi.
7.
Memperoleh
pengetahuan tentang pandangan ulama terhadap kehujjahan mazhab (qaul)
al-Shahabi
8.
Mengetahui tentang
penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.
BAB II
Pembahasan
Pembahasan
A. PENGERTIAN SAD DZARI’AH
1. Secara
Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah merupakan
bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd dan adz-dzari’ah . Secara etimologis, kata
as-sadd merupakan kata benda
abstrak(mashdar) dari Sadda yasyuddu sadda
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan
menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah merupakan kata benda (isim) bentuk
tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu.
Bentuk jamak dariadz-dzari’ah adalah
adz-dzara’i. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih
al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd
adz-dzara’i.
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang
dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu
agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung
di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah
dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena
itulah, menurut Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan
sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang
lain.[1]
2. Secara
Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan
kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan
tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur
kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau
sarana terjadi suatu kerusakan(mafsadah), maka kita harus
mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut
asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada
lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang
dilarang (al-mahzhur).
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan
bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang
boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang
dilarang (mamnu’). Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd
adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada
perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan
atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang
dibolehkan.
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama
seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariahsebagai sesuatu
yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya
menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak
mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu,
Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang pada awalnya
memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-Qayyim tersebut akan
dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd
adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu
yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang[2].
B. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana
halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd
adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan
hukum(istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk
hukumnya,sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua
ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai metode dalam menetapkan
hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima
sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
Kelompok
pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah
mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki bahkan
mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka
sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya,
mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’
al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan
tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok
kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum,
adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini
menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbathpada kasus
tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam
Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah ketika beliau melarang
seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut
beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah
memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah
rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.
Kelompok
ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah
mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menetapkan hukum
berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd
adz-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih
dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.
Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah
semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.[3]
C. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1. Alquran
wur
(#q7Ć¡n@
ĆŗĆÆĆ%©!$#
tbqĆ£Ć£Ć“t
`ĆB
ĆbrĆ
«!$#
(#q7Ć¡usĆ¹
©!$#
#JrĆ“tĆ£
ĆƶtĆ³Ć/
5OĆ¹=ĆƦ
3 y7Ć9Āŗxx.
$¨Yy
Će@Ƥ3Ć9
>p¨BĆ©&
Ć³OĆgn=uHxĆ„
§NĆØO
4n<Ć)
NĆkĆh5u
Ć³OĆgĆ£ĆØĆ
_Ć³£D
OĆgĆ£¥Ćm7t^Ć£sĆ¹
$yJĆ/
(#qƧR%x.
tbqĆØ=yJ÷ĆØt
ĆĆĆĆĆ
Dan janganlah
kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah
kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 108).
Pada ayat di
atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ahyang
akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang,
yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism
defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci
Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum
balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain
merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
$ygr'¯»t
ĆŗĆÆĆ%©!$#
(#qĆ£YtB#uƤ
w
(#qƤ9qĆ )s?
$uZĆĆ£Āŗu
(#qƤ9qĆØ%ur
$tRƶĆĆ R$#
(#qĆ£ĆØyJĆ³$#ur
3 ĆŗĆÆĆĆĆæ»x6Ć¹=Ć9ur
Ć«>#xtĆ£
ĆOĆ9r&
ĆĆĆĆĆ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”,
tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir
siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).[4]
Pada surah
al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk pelarangan
terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran terhadap dampak negatif
yang akan terjadi. Kata raa ‘ina berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan
kami.” Saat para sahabat menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi
pun memakai kata ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan sebagai
bentuk isim fail darimasdar kata ru’unah yang
berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi
SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan
dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari
latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan
dasar dari sadd adz-dzari’ah.[5]
2. Sunah
Ų¹َŁْ Ų¹َŲØْŲÆِ Ų§ŁŁَّŁِ ŲØْŁِ Ų¹َŁ
ْŲ±ٍŁ Ų±َŲ¶ِŁَ Ų§ŁŁŁُ Ų¹َŁْŁُŁ
َŲ§ ŁَŲ§Łَ ŁَŲ§Łَ Ų±َŲ³ُŁŁُ Ų§ŁŁŁِ ŲµَŁَّŁ Ų§ŁŁŁُ Ų¹َŁَŁْŁِ ŁَŲ³َŁَّŁ
َ Ų„ِŁَّ Ł
ِŁْŲ£َŁْŲØَŲ±ِ Ų§ŁْŁَŲØَŲ§Ų¦ِŲ±ِ Ų£َŁْ ŁَŁْŲ¹َŁَ Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁُ ŁَŲ§ŁِŲÆَŁْŁِ ŁِŁŁَ ŁَŲ§ Ų±َŲ³ُŁŁَ Ų§ŁŁŁِ ŁَŁَŁْŁَ ŁَŁْŲ¹َŁُ Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁُ ŁَŲ§ŁِŲÆَŁْŁِ ŁَŲ§ŁَŁَŲ³ُŲØُّ Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁُ Ų£َŲØَŲ§ Ų§ŁŲ±َّŲ¬ُŁِ ŁَŁَŲ³ُŲØُّ Ų£َŲØَŲ§Łُ ŁَŁَŲ³ُŲØُّ Ų£ُŁ
َّŁُ
Dari Abdullah
bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di antara dosa besar
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya,
“Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau
menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang
dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
Hadis ini
dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh
ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai
dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.[6]
3. Kaidah
Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa
dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
ŲÆَŲ±ْŲ”ُ Ų§ŁْŁ
َŁَŲ§Ų³ِŲÆِ Ų£َŁْŁَŁ Ł
ِŁْ
Ų¬َŁْŲØِ Ų§ŁْŁ
َŲµَŲ§ŁِŲِ.
Menolak keburukan (mafsadah)
lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).
Kaidah ini
merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan di bawahnya.
Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah, sadd
adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami,
karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsurmafsadah yang harus
dihindari.[7]
4. Logika
Secara
logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya
ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia
pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal
ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lĆ¢m al-MĆ»qi’Ć®n:
”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah
segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk
menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”
D. MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang
timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi
empat macam, yaitu:
1. Suatu
perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal
ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk dan
perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau
dianjurkan(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara
untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi
perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh
dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara
tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk
menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan
itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah)yang
kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada
kebaikan(maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang
disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu
perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat
perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek
kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi
tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu
yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan atau
sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam anggur,
meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.
2. Sesuatu
yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang yang
mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut akan membalas
mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali
sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut biasa
dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu
yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti memandang
perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka
karena khawatir ada unsur riba.
E. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH
Guna
menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi
sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain
yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif
atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan, apakah
perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan atau diharamkan.
Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang yang hendak menikahi
seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar untuk menghalalkan si
perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu
harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan
yang digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang
langgeng.
2. Akibat
yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si
pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan
adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu
harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang
sebelumnya terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan
mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena
itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu
harus dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.
F. Pengertian Qaul Shahabi
Hampir semua
kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda
dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya
dengan qaul shahabi, ada juga yang menamakannya dengan fatwa
shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahabi menempatkan
pada pembahasan tentang dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan ada
yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak
seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal
ini menunjuukkan bahwa madzhab shahabi itu berbeda dengan ijma’
shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’
karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan sebagian kecil
ulama ada yang menolak kehujjahan ijma’ secara umum.
Yang dimaksud
dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu
kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dansunnah
Rasulullah.[8]
G. Macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi
Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke
dalam beberapa macam, di antaranya:
Perkataan
sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para
ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah
hadits mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau
memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan
objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah
sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah
tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari.Namun contoh-contoh
tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah
permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan pada
kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada
kebiasaan masing-masing. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang
lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori
ijma’.
Perkataan
sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui
ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang
berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah. Perkataan sahabat yang
berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabiyang seperti
inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya
sebagai hujjah dalam fiqh Islam.
Adapun Dr.
Muhammad Sulaiman Abdullah al-Asyqar menambahkan beberapa poin mengenai
macam-macam qaul al-Shahabi ini, di antaranya:
Perkataan
Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat
untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits,
”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin
setelahku”
Perkataan
seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang
lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama berpendapat bahwa perkataan sahabat ini
tidak bisa dijadikan hujjah. Akan tetapi sebagian ulama lainnya dari kalangan
Ushuliyyin dan fuqahamengharuskan untuk mengambil perkataan satu sahabat.[9]
H. Kehujjahan
mazhab (qaul) al-Shahabi
Pendapat
sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah
pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atastabi’n dan orang-orng setelah tabi’in.
Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:
Satu pendapat
mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadihujjah. Pendapat
ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu
Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhab qadimnya, termasuk juga Imam
Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah firman
Allah SWT.
ƶNƧGZƤ. uƶyz >p¨BĆ©& Ć“My_Ć÷zĆ©& ƨ$¨Y=Ć9 tbrĆ¢ĆDĆ¹'s? Ć
$rĆ£÷ĆØyJĆø9$$Ć/ cƶqyg÷Ys?ur Ć`tĆ£ Ćx6ZĆJĆø9$# ĆĆĆĆĆ
Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar”.(QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini
merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkanma’ruf, sedangkan perbuatan ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat
para sahabat wajib diterima.
Alasan yang kedua adalah hadis
Rasul:
“Sahabatku
bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti
engkau mendapat petunjuk”.
Hadis ini
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari
sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan
bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita
terima/amalkan. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabat
(qaulussshahabi) secara mutlak tidak
dapat menjadi hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur As ya’iyahdan Mu’tazilah, Imam Syafi’i
dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan al-Kharha dari golongan
Hanafiyah.
Alasan mereka antara lain adalah
firma Allah:
(#rƧĆ9tFĆ“Ć£$$sĆ¹ Ć<'rĆ©'¯»t Ć»|Ćƶ/F{$# ĆĆĆ
Artinya:
“. . . Maka ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.
al-Hasyr: 2)
Maksud ayat
tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang yang mempunyai
pandangan/pikiran untuk mengambil i’tibar (pelajaran). Yang dimaksudi’tibar
dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad, sedangkan dalam hal mujtahid sama
saja apakah mujtahid itu sahabat atau bukan sahabat.[10]
Ulama
Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam
Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan
apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat
didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan
antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubahayat 100:
cqĆ )Ć6»¡¡9$#ur tbqƤ9¨rF{$# z`ĆB tĆ»ĆÆĆĆf»ygĆJĆø9$# Ć$|ĆRF{$#ur tĆ»ĆÆĆ%©!$#ur NĆØdqĆ£ĆØt7¨?$# 9`»|¡Ć“mĆ*Ć/ Ć
Ƨ ĀŖ!$# ƶNĆ„k÷]tĆ£ ĆĆĆĆĆ
Artinya:
“Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka” (QS. at-Taubah: 100)
Dalam ayat ini
menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang
pertama kali masuk Islam. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari
dari Imran bin Hushain yangberbunyi: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada)
masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”.
Dari segi
alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat
meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat
dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman
yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruh syari’at dan tujuan-tujuan
persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka
merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga
diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika
pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan
hadis yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah
generasi terbaik (memiliki sifatal-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut
kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’tanpa alasan, sebab hal itu terlarang
menurut syara’. Kemudian Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya I’lamul
Muwaqqi’in berkata bahwa fatwa sahabat
tidak keluar dari enam bentuk:
1. Fatwa
yang didengar sahabat dari Nabi
2. Fatwa
yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3. Fatwa
yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman
ayatnya bagi kita.
4. Fatwa
yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang
sahabat.
5. Fatwa
yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya,
kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal
inilahhujjah yang wajib diikuti
6. Fatwa
yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata
pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah[11].
I. Penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab.
Para Imam
mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul al-Shahabi sebagai rujukan terhadap
masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebab dalam
masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabi dipandang
berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima
tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.
1. Imam
Abu Hanifah
Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak
terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang
diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada
keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan apabila sahabat ikhtilaf, maka ia akan
mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia
kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak
menjumpai dasar-dasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan
fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang diambil, ada pula
yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka
kepada selain mereka.”
2. Imam
Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab
al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang
sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka
berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian
seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”.
Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an,
sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang
sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab
al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum
dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau
salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih
senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika
kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang
mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum,
pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian
pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu,
pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang
kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh
al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya
sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum
yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.[12]
1. Imam
Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath.
Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah,
qaul shahabiyang tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz
al dzar’i.
Imam Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada
qiyas.Sebab, beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat
terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa
bila tanpa didasarkan pada atsar.
Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka
beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di
antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau
mengunakan hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka
barulah beliau mengqiyaskannya
2. Imam
Syafi’i
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab
al-Risalahnya sebagai berikut:
“Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang
sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka
berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian
seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”.
Dia menjawab:“Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari al-Qur’an,
sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang
sahabat”.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab
al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum
dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau
salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih
senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika
kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang
lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang
mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 ). Keterangan di atas menunjukkan,
bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari
Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat.
Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai
hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang
dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur,
dan pada umumnya sangat teliti.
Demikian juga Imam Malik RA dalam kitabnya al-Muwaththa’ banyak sekali
hukum-hukum yang didasarkan pada fatwa-fatwa sahabat.
Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin
Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum
yang dijadikannya sebagai landasan yaitu Alquran, sunnah, qaul shahabiyang
tidak bertentangan, hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i. Imam
Hanbal lebih mengutamakan hadis mursal atau hadis dhaif daripada qiyas.Sebab,
beliau tidak akan menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa.
Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila
tanpa didasarkan pada atsar. Apabila
dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau
menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara
mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa tersebut, maka beliau mengunakan
hadis mursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau
mengqiyaskannya[13].
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu
perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik,
sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang
betul-betul bisa digunakan untuk menciptakan kemaslahatan umat dan
menghindarkan kerusakan umat. Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang
hendak menciptakan kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan
demi kepentingan kelompok dan pribadinya.
Mazhab Sahabat yang lazimnya juga disebut qaul al-Shahabi
maksudnya adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalah-masalah ijtihad.
Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang suatu
kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum,
yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.
Tidak semua
qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah di antara para
ulama. Tetapi qaul al-Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa perkataan
sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan para
sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan
tersebut.
Tidak semua
ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam
menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad
Abu Zahrah jumhur ulama mengikuti dan mengambil madzhab Sahabat sebagi hujjah
dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam
Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali).
B.
Saran
Dalam penulisan makalah ini saya merasa masih jauh
dari kesempurnaan, sehingga saya mengharapkan adanya kritikan dari para
pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Supaya bisa membuat makalah
selanjutnya yang lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya
kedepan untuk memajukan syari’at Islam. Dan memberikan banyak
dapat positif bagi sang pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
al-hanafi, abd al-ghani al-ghanami ad-dimasyqi;. (1997). al-lubab fi
syarh al kitab. Beirut: dar al-ma'rifah.
al-ja'fi, m. b.-b. (1987). al-jami' ash-shahih al-mukhatashar.
Beirut: dar ibn katsir.
al-mishri, muhammad
bin mukarram bin manzhur al-afriqi;. (1994). lisan al-arab. Beirut: dar
shadir.
as-suyuthi, jalaluddin;. (1986). al-asybah w an nazhair. Beirut:
dar al-kutub al-llmiyyah.
dahlan, Abd rahman;. (2010). ushul figh. Jakarta: Amzah.
fatchurrahman, mukhtar yahya ;. (1986). dasar-dasr pembinaan hukum
islam. Bandung: PT Al-Ma'arif.
khallaf, abdul wahhab;. (1978). ilmu ushul figh. Kuwait: An-nasyr
wattawzi.
umam, khairul dkk;. (2000). ushul
fiqih I. Bandung: Pustaka setia.
zahrah, muhammad abu;. (2008). ushul figh. Jakarta: Pustaka
firdaus.
Muhammad bin Ismail
Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih
al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5,
Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin
Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi
Jawahir al-Qamus, juz 1
bubuk.
BalasHapus