BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
adalah ilmu yang berpikir, banyak para ahli filosof yang telah menemukan
perkembangan hidup manusia dalam masa dahulu dan meneliti apa yang belum mereka
ketahui seperti Tuhan, pada zaman dahulu para filosof mencari dan meneliti apa
yang dinamakan Tuhan. Karean zaman dahulu mereka sangat harus akan ilmu oleh
sebab itu meneliti apa saja yang mereka masih perdebatkan zaman dahulu. Dan
kini menjadi sumber ilmu bagi manusia pada saat ini dan mengerti dan
mempelajari cara berpikir orang zaman dahulu.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan Tuhan ?
2. Apa
itu filsafat ketuhanan ?
3. Bagaimana
pendapat filsafat islam tentang Ketuhanan ?
4. Bagaimna
cara berpikir dalam memastikan adanya Tuhan?
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui Tuhan
2. Untuk
mengetahui filsafat ketuhanan
3. Untuk
mengetahui pendapat islam tentang ketuhanan
4. Untuk
mengetahui cara dalam berpikir memastikan Tuhan
BAB
II
PEMBAHASAN
Filsafat islam tentang ketuhanan
A.
Tuhan (Allah)
Allah swt, nama yang maha mulia, dari zat yang maha
suci yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya. Dari pada-Nya-lah
hidup kita dan kepada-Nya kita kembali. Amat sucilah dia, dan kepada-Nya-lah
terhimpun pjian dan pujaan. Tak terhitung banyak puji yang harus di berikan
kepadaNya dan belum juga setaraf usaha kita memuja dia dengan kebesaran yang
ada padaNya.
Sejak alam dijadikan dan sejak manusia di berikan
kelapangan hidup di atas dataran bumi ini,telah ada orang yang taat kepadaNya
dan telah ada pula yang durhaka padaNya.
Alangkah banyaknya orang yang enggan dan memungkiri,
lau mencari dalih kehendak meniadakan tuhan,. Kelak ternyata bahwa itu hanyalah
suara dari rongkongannya keatas, tidak datag dari suara hati sanubarinya. Dan
jika dia terus bersikap demikian namun yang terkena bukanlah tuhan, tetapi
kepalanya sendiri.[1]
B.
Tuhan dalam
konsepsi
Secara
keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi obyek kajian ilmu, karena
kajian ilmu selalu persial, terukur,terbatas dan dapat di uji secara
berulang-ulangpada lapangan atau laboratorium percobaan keilmuan.
Oleh
karena itu, dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan perenungan yang
sangat intens, sejak yunani kuno bahkan hingga sampai saat ini.[2]
C. Tuhan sebagai Nafs (ego) mutlak
Dalam
konsep filsafat Islam, pengalam iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif
dengan Tuhan, yang bersifat spiritual, terjadi secara langsung dan obyek itu di
mungkinkan, karena tuhan seperti yang di nyatakan dalam firman dan
ayat-ayat-Nya adalah Nafs,Keakuan, atau Ego, yang tentu bersifat mutlak.
Sedangkan manusia adalah Nafs, keakuan atau Ego yang tidak mutlak.
Konsep
nafs dalam filsafat Islam, pada dasarnya lebih diartikan sebagai dir, keakuan
dan ego, bukan jiwa. Pengertian nafs sebagai the soul atau jia yang di
pengaruhi oleh pemikiran filsafat yunani, yang bercorak dualistic,yang membagi
manusia tediri dari jiwa dan badan, soul dan matter.[3].
D. Filsafat Ketuhanan
Filsafat
ketuhanan adalah hikmah (kebijaksanaan) menggunakan akal-pemikiran dalam
menyelidiki ada dan Esa-Nya Tuhan.
Istilah
ini nampaknya masih baru, namun pada hakekatnya tidaklah baru dalam materi,
justru persoalan mencari dan menyelidiki Tuhan telah ada semenjak manusia ada
di permukaan bumi.
Sungguh
pun istilah baru muncul setelah ahli pikir mengemukakan kesimpulannya bahwa
paham ketuhanan bukan hanya suatu dogma belaka, atau suatu kepercayaan yang
tidak bisa di buktikan kebenarannya melalui akal-pikiran, melainkan suatu
kepercayaan yang berakar pada pengetahuanyang benar ( yang sesuai dengan
obyeknya) yang dapat diuji melalui logika akademi. Tegasnya ketuhanan adalah
suatu kebenaran yang dapat di buktikan melalui kaidah-kaidah logika. Dengan
melihat adanya pembagai istilah yang di pergunakan dalam masalah ketuhanan ini
dapatlah diketahui betapa besar perhatian dan usaha manusia dalam menyelidiki
Ada dan Esa-Nya Tuhan.[4]
E. Fikira memastikan adanya ketuhanan
1.
Logika dan
Dialetika
Untuk
mencapai tujuan dalam mencari kebenaran Ada dan Esa-Nya Tuhan, maka kita harus
memulai suatu metode berpikir, suatu sistim yang memudahkan menemukan apa yang
dituju secara cepat dan tepat. Metode dan sistim ialah penggunaan logika
akademi.
Logika
adalah bagian dari filsafat, yang mengerjakan cara berpikir secara tepat dan
cepat. Logika juga di sebut “mantiq” adalah ilmu fikiran yang lurus untuk
mencapai pengetahuan yang benar. Ilmu jiwa menerangkan bagaimana terjadinya
sesuatu fikiran, umpama dimulai dengan adanya pengamatan sampai ke dalam otak
dan bagaimana seterusnya di sana di bagian mana dari otak tempat berkumpulnya
segala pengamatan dari pada panca indra.
Daya
pikir manusia berada di ruang lingkup yang terbatas sebagaimana halnya daya
kekuatan manusia yang lain umpama panca indra.
a.
Pengecap
b.
Peraba
c.
Penciuman
d.
Pendengaran
e.
Pengelihatan
f.
Kekuatan fisik
g.
Pemikiran[5]
2.
Hukum akal
memastikan adanya Tuhan
Yang
lazim di katakan hukum akal, ialah keputusan yang di ambil oleh akal dengan
berpikir. Hukum akal dibagi kepada 3 bagian :
a.
Wajib
b.
Mustahil
c.
Mungkin (Jaiz)
Wajib
pada akal itu ialah suatu perkara yang akal biasa memastikan adanya. Sedangkan
Mustahil pada akal itu ialah suatu perkara yang akal biasa memastikan “tidak
adanya”, seperti angka “tiga” dengan angka “empat”, maka akal memutuskan :
tidak ada (mustahil) “tiga” lebih besar dari pada “empat”. Dan Mungkin (Jaiz)
pada akal itu, ialah suatu perkara yang akal biasa menerima “adanya” atau
“tidak hanya” sesuatu seperti pada suatu benda, akal menerima bahwa ia dapat
bergerak pada suatu masa dan keadaan, dan tidak bergerak pada masa lain. Akal
tidak memastikan benda itu “bergerak” dan tidak pula harus menrima benda itu
“tidak bergerak”.[6]
F. Sistem para ahli fikir memastikan adanya Tuhan
1.
Socrates
Adalah filosof Yunani yang hidup dalam abad keempat
sebelum masehi (wafat 399 S.M ) terkenal sebagai ahli fikir dalam sejarah
engetahuan mendapatkan tempat dan penghargaan sesuai dengan hasil karya dan
fikirnya. Ia adalah Phitagoras yang utama, di mana terkenal dengan semboyannya:
“kenalilah diri egkau dengan diri engkau
sendiri”. Sebagai ahli fikir, ia turut membahas masalah ketuhanan dengan
logika akademi yang simpel dengan menetapkan adanya wujud Tuhan yang wajib
disembah. Sistem Socrates untuk membangunkan pengetahuan manusia tentang Tuhan
memakai dua jalan. Pertama, berdasar pada bukti-bukti alam. Kedua, dengan
alasan-alasan sejarah.
Melalui
bukti-bukti alam dengan membentangkan
peristiwa-peristiwa alam itu sendiri, sedangkan melalui alasan-alasan sejarah
dengan mengemukan tabiat manusia yang dengan sendirinya tertarik kepada adanya
Tuhan yang menjadikan, mengatur dan memelihara manusia.
Dalam
pada itu Socrates mengemukakan, bahwa Tuhan itu sangat besar perhatiannya
kepada mahluk-mahluknya.
Ia
mengemukan suatu sistem fikir dalam memastikan adanya Tuhan: Bagaimana engkau
mengatakan Tuhan tidak memperhatikan mahluknya padahal engkau mengetahui bahwa
Tuhan sudah memberikan sifat-sifat yang khas untuk manusia, yang tidak
terdapaat pada hewan-hewan lain, yaitu berdiri di atas dua kaki. Sifat ini menyebabkan
manusia dapat melihat sejauh-jauhnya dan untuk merenungkan hal yang lebih jauh
dari pada itu.
Betul
kaki di berikan oleh Tuhan juga kepada lain-lain hewan di atas bumi tetapi
hanya untuk bergerak dan berubah tempat. Di samping itu Tuhan memberikan dua
tangan pula bagi kita, supaya lebih banyak dapat berkerja dan lebih bahagia
dari pada hewan-hewan yang lain.
Engkau
melihat bahwa hewan-hewan yang lain pun mempunyai lidah, tetapi manusia lebih
banyak kesanggupannya, dapat mengadakan berbagai suara sampai-sampai untuk
menurutkan atau menggambarkan segala apa yang terselip atau terbetik dalam
sanubarinya.[7]
2.
Plato
Ia
adalah filosof yang hidup pada tahun 427-348 s.m. dipandang sebagai filosof
yang pertama sekali menyebutkan kalimat “idealis”yang ditujukan kepada
pengertian rohani semata-mata.
Sebagai
murid dari Socrates, ia mengembangkan dokrit gurunya disamping menyempurnakan
pemikiran-pemikirannya.
Menurut
ahli fikir tersebut, perbuatan dan tingkah laku manusia, di pahamkan dengan
cita-citanya, sekalipun mengerti bahwa cita-cita itu tidak bisa tercapai.
Seperti
juga kita tidak bisa membuat satu ruang bersudut banyak, sehingga ia menyerupai
lingkaran, sekali pun sudut-sudut itu kita tambahi sebanyak-banyaknya,
begitulah juga kita tidak mungkin mencapaii cita-cita keadilan, kemanusian dan
lain-lain dengan sempurna betul. Paling baik kalau kita bisa mendekati cita-cita
kita itu sedekat-dekatnya.
Segala
keadaan didunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu menurut Plato,
dunia yang di tempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan dunia
cita-cita adalah dunia yang kekal, yang tidak berubah, yang selalu dicari
manusia yang berpikir dan berpengetahuan menurut ratio.
Tuhan
menurut pendapat Plato, adalah pikiran yang dapat di artikan sumber segala
sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu.[8]
G. Pemikiran di Barat tentang ketuhanan
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori
evolusionisme, yaitu teori yg menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang
amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tsb mula-mula
dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson
Smith, Lubbock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tenteng Tuhan menurut
teori evolusionisme adalah
1.
Dinamisme
Menurut
paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang
berpengaruh dlm kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditunjukkan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengruh negatif.
2.
Animisme
Disamping
kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh
dalam hidupnya. Setiap benda yg dianggap benda baik mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sbg suatu yg aktif sekalipun bendanya telah
mati.
3.
Politeisme
Kepercayaan
dinamisme dan dinamisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, krn terlalu banyak
yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yg lebih dari yang lain kemudian disebut
dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya.
4.
Henoteisme
Satu
bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan. Namun manusia masih
mengakui Tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa
disebut dengan Henoteime (Tuhan tingkat Nasional).
5.
Monoteisme
Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan, satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan
bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan
terbagi dalam 3 paham yaitu : deisme, panteisme dan teisme. Evolusioner dlm
kepercayaan thd Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.Taylor
(1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dlm
masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah
juga sama monoteismenya dengan
orang-orang Kristen.
H. Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu
Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin dikalangan umat islam, timbul sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat
liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Aliran
tersebut adalah:
1.
Mu’tazilah
Aliran
ini merupakan kaum rasionalis dikalangan muslim, serta menekankan pemakaian
akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam islam. Orang islam
yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada dalam posisi
mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain). Mu’tazilah lahir sebegai
pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
2.
Qadariah
Aliran
ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kebasan dalam berkehendak dan berbuat.
3.
Jabariah
Aliran
ini merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan
dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan
dipaksa oleh Tuhan.[9]
I. Ketuhanan menurut para filsafat islam
1.
Al-Ghazali
Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom)
yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan
undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu
dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan
dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan
waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan
iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[10]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa
sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat
Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari
kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak
mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala
sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga
dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka
menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar
dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang
tidak bisa terbakar oleh api[11]
2.
Al Farabi
Tuhan,
menurut al Farabi adalah al Maujud al
Awwal. Baginya Allah adalah ‘sebab’ pertama bagi segala sesuatu di dunia
ini. bagi al Farabi, segala sesuatu yang
bersifat ada (maujud) di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud
dan mumkin al wujud.
Al
Farabi untuk menjelaskan konsep wujudnya menggunakan teori gerak. Bagi
al-Farabi, mumkin al wujud yang
termanifestasikan di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan adanya Wajib al
wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta ini (mumkin
al wujud). Al Farabi sebagaimana dilansir oleh Ibrahim madkour mendefinisikan
Tuhan ‘Eksistensi sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya,
bahkan Ia selalu ada.’
Al
Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-Platonism di dalam Islam. Kaitannya,
dalam menerangkan Tuhan. Allah merupakan
Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang haru ada dan merupakan
sebab pertama bagi setiap entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling
sempurna. Ia dengan substansi-Nya, yang tidak terpisah dari wujud-Nya
merupakan akal dan aktual sekaligus (Actualis Sensus/ ‘aql bi al-fi’li) karena ia
tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam. Dia juga ma’qul sebagai
objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah
Tuhan yang Wajib al Wujud. Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak
terpisah, namun merupakan bentuk aplikasi sebagaimana aksidensi bagi potensi.
Dengan
argumen di atas ini, al Farabi menjabarkan
penjelasan mengenai konsep penciptaan lewat filsafatEmanasi (pancaran). Argumentasi
pancaran ini pulalah yang kemudian menguatkan konsep Wajib al Wujud –nya. Ketika Tuhan dengan kondisi wujud (jawhar)
dan esensi (dzat)yang tidak terpisah, namun berbeda (ma hiya huwa wa la hiya
ghayruhu) berkehendak untuk menciptakan, perlu diketahui bahwa kehendaknyalah
yang qadim. Kehendak (iradah) Tuhan di
sini, dapat dianalogikan sebagai gerak dari esensi (dzat) Tuhan kepada wujud
(jawhar)-nya. Wujud itulah yang berbentuk
iradah inilah yang kemudian termanifestasikan menjadi 12 akal dalam
penciptaan. Mengutip Fuad Mahbub Siraj, aktivitas Tuhan yang semacam ini
menjadikan-Nya ‘Intelek Yang Merenungkan diri-Nya sendiri[12]’.
3.
Ibnu sina
Ibnu
Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat tangan al
Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan
pendekatanontologis sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.
Ibnu
Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut,
“Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab
ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah
perihal yang mewajibkan daripadanya wujud. Di sini Ibnu Sina mengawali
pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap wujud wajiblah daripadanya sebab (‘illah) yang menjadikan wujud itu ‘wujud’
(ada).
Namun,
takkala ditemukan illah’ yang membuat
wujud itu‘adam, Ibnu Sina tidak serta merta menjustifikasi bahwa ‘illahitulah
yang menyebabkan ‘adam-nya wujud itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap wujud menjadi ‘wujud’ dikarenakanillah yang
menyebabkan ‘wujud’ itu ada dari ‘adam
(ketiadaan),maka yang akan terjadi adalah jika tidak ada ‘illah yang
menyebabkannya wujud, maka wujud itu akan abadi di ‘adam(ketiadaan).
Ibnu
Sina menyatakan, bahwa ‘adam’ ketiadaan adalah kondisi pertama
yang dimiliki sebuah wujud sebelum ia berwujud nyata. Maka
dipastikanlah, setiap wujud yang ada di dunia berasal
dari ketiadaan (‘adam),dan adanya ‘illah di luar
zat wujud yang bertugas ‘mengeluarkan’ wujud dari ‘adam. Gejala
semacam inilah yang dinamakannya mumkin al wujud.
Ibnu Sina menerangkan tentang Wajib al wujud sebagai
Esensi mutlak yang menjadi ‘illah pertama dari segala macam
pergerakan yang ada di alam. ketika sesuatu wujud membutuhkan ‘illah yang
berada di luar zatnya (‘illah), tidak mungkin juga
bersifat mumkin al wujudsebagai zatnya. disimpulkan
di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Ibnu
Sina, searah dengan al Farabi juga sepakat akan argumen yang menolak persamaan
substansi-aksidensi, esensi-wujud. Dengan konsekuensi kesepakatan atas
perihal potensi-aksidensi. Dengan itu Ibnu Sina menyetujui
keberadaan alam semesta ini merupakan konsekuensi dari kehendak Tuhan yang termanifestasi
di dalam wujud-wujud alam semesta, dari pada penciptaan yang kosong (creation
ex nihilo).[13]
4.
Al Kindi
Tuhan menurut
Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali,
ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah
keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Filsafat
menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah
pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal),
Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran.
Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang
teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik.
kosmologis
tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi
al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan
mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab
itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta
berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep
sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia
mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakanjuz’iyyāt (particular).
Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang
jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya
adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal).
Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan
hakikatkulli yang disebut māhiyah yakni hakikat
yang bersifat universal dalam bentukgenus dan spesies.
Tuhan
tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah,
karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga
tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk
genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia
Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat,
Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh
oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah
Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu
disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui
media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi
memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak
bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa
dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam
aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī masih terpengaruh oleh
Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa
sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan
ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14]
5.
Al Razi
Filsafat
Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima Kekal, yakni al-Bāry Ta’āla (Allah
Ta’āla),al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayūla al-Ūla (Materi
Pertama), al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamān al-Muthlaq
(masa absolut).
a.
. Al-Bāry Ta’āla
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam diciptakan
Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah
ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun
,materi asalnya kadim, sebab penciptaannya di sini dalam arti disusun dari
bahan yang telah ada[51]. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat
dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun
dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama
yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari
tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal
ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun
kenyataanya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[15]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa:
Tuhan
menurut para filosof dahulu memiki banyak definisi, di dunia barat banyak Animisme,Dinamisme
politeisme, honoteisme dan monoteisme.dan masih banyak lagi seperti menurut
berbagai filsuf seperti Al ghazali, Al kindi, Al farabi, Ibnu sina dan Al razi. Wujud
Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud,
eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh
akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi,
sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap
oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini
berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan
ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi
bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual
keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan
tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui
proses penciptaan
Daftar
kepustakaan
al-ahwani, ahmad fuad;. (1997). filsafat islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
asy'arie, musa. (1999). filsafat islam. Yogyakarta: LESFI.
dkk, poewartana. (1988). seluk beluk filsafat islam.
Bandung: CV Rosda.
hamka. (1985).
filsafat ketuhanan. Surabaya: Karunia.
hanafi, ahmad.
(1989). pengantar filsafat islam. Jakarta: bulan bintang.
muhammdi, Usman. A. (Jakarta). pengantar studi islam. 1964:
Pustaka Agus Salim.
oliver leaman.
(1989). pengantar filsafat islam. Jakarta: Rajawali.
taib thahir
abdul muin. (1966). ilmu mantiq. Jakarta: Penerbit Wijaya.
ya'qub, hamza. (1992). Filsafat Agama. Jakarta: Pedoma
ilmu jaya.
zar, sirajuddin. (2004). filsafat islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
[1] Hamka,filsafat
ketuhanan,(Surabaya: Karunia,1985), hal 31
[2] Musa
asy’arie,Filsafat Islam,(Yogyakarta: LESFI,1999), cet ke-1 hal 150
[3] Ibid,.
Hal 171
[4] Hamza
ya’qub,Filsafat Agama,(Jakarta,pedoman ilmu jaya: 1992), hal. 09
[5] Ibid,.
Hal 19-21
[6] Ibid,.
Hal.24
[7] Usman
El-Muhammadi,pengantar studi Islam,(Jakarta: Pustaka Agus Salim,1964),Hal 56
[8] Taib
thahir abdul muin,ilmu mantiq,(Jakarta: penerbit wijaya, 1966),hal. 64
[9] Ahmad
Fuad al-ahwani,Filsafat Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),cet ke-8. Hal 27
[10]Poerwantana,
dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988),
hlm. 172.
[11] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176
[12] Ibid,.
Hal 179
[13] Ahmad
hanafi,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1996).hal. 86
[15] Ibid,.
Hal 90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar