Rabu, 18 Juni 2014

FIlsafat islam tentang ketuhanan



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Filsafat adalah ilmu yang berpikir, banyak para ahli filosof yang telah menemukan perkembangan hidup manusia dalam masa dahulu dan meneliti apa yang belum mereka ketahui seperti Tuhan, pada zaman dahulu para filosof mencari dan meneliti apa yang dinamakan Tuhan. Karean zaman dahulu mereka sangat harus akan ilmu oleh sebab itu meneliti apa saja yang mereka masih perdebatkan zaman dahulu. Dan kini menjadi sumber ilmu bagi manusia pada saat ini dan mengerti dan mempelajari cara berpikir orang zaman dahulu.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Tuhan ?
2.      Apa itu filsafat ketuhanan ?
3.      Bagaimana pendapat filsafat islam tentang Ketuhanan ?
4.      Bagaimna cara berpikir dalam memastikan adanya Tuhan?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui Tuhan
2.      Untuk mengetahui filsafat ketuhanan
3.      Untuk mengetahui pendapat islam tentang ketuhanan
4.      Untuk mengetahui cara dalam berpikir memastikan Tuhan






BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat islam tentang ketuhanan
A.    Tuhan (Allah)
Allah swt, nama yang maha mulia, dari zat yang maha suci yang kita percayai dan kita beramal berusaha karena-Nya. Dari pada-Nya-lah hidup kita dan kepada-Nya kita kembali. Amat sucilah dia, dan kepada-Nya-lah terhimpun pjian dan pujaan. Tak terhitung banyak puji yang harus di berikan kepadaNya dan belum juga setaraf usaha kita memuja dia dengan kebesaran yang ada padaNya.
Sejak alam dijadikan dan sejak manusia di berikan kelapangan hidup di atas dataran bumi ini,telah ada orang yang taat kepadaNya dan telah ada pula yang durhaka padaNya.
Alangkah banyaknya orang yang enggan dan memungkiri, lau mencari dalih kehendak meniadakan tuhan,. Kelak ternyata bahwa itu hanyalah suara dari rongkongannya keatas, tidak datag dari suara hati sanubarinya. Dan jika dia terus bersikap demikian namun yang terkena bukanlah tuhan, tetapi kepalanya sendiri.[1]
B.     Tuhan dalam konsepsi
Secara keilmuan, Tuhan tak pernah dan tak mungkin menjadi obyek kajian ilmu, karena kajian ilmu selalu persial, terukur,terbatas dan dapat di uji secara berulang-ulangpada lapangan atau laboratorium percobaan keilmuan.
Oleh karena itu, dalam filsafat hakikat Tuhan telah menjadi bahan perenungan yang sangat intens, sejak yunani kuno bahkan hingga sampai saat ini.[2] 
C.     Tuhan sebagai Nafs (ego) mutlak
Dalam konsep filsafat Islam, pengalam iman dalam proses komunikasi dan dialog kreatif dengan Tuhan, yang bersifat spiritual, terjadi secara langsung dan obyek itu di mungkinkan, karena tuhan seperti yang di nyatakan dalam firman dan ayat-ayat-Nya adalah Nafs,Keakuan, atau Ego, yang tentu bersifat mutlak. Sedangkan manusia adalah Nafs, keakuan atau Ego yang tidak mutlak.
Konsep nafs dalam filsafat Islam, pada dasarnya lebih diartikan sebagai dir, keakuan dan ego, bukan jiwa. Pengertian nafs sebagai the soul atau jia yang di pengaruhi oleh pemikiran filsafat yunani, yang bercorak dualistic,yang membagi manusia tediri dari jiwa dan badan, soul dan matter.[3].
D.    Filsafat Ketuhanan
Filsafat ketuhanan adalah hikmah (kebijaksanaan) menggunakan akal-pemikiran dalam menyelidiki ada dan Esa-Nya Tuhan.
Istilah ini nampaknya masih baru, namun pada hakekatnya tidaklah baru dalam materi, justru persoalan mencari dan menyelidiki Tuhan telah ada semenjak manusia ada di permukaan bumi.
Sungguh pun istilah baru muncul setelah ahli pikir mengemukakan kesimpulannya bahwa paham ketuhanan bukan hanya suatu dogma belaka, atau suatu kepercayaan yang tidak bisa di buktikan kebenarannya melalui akal-pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuanyang benar ( yang sesuai dengan obyeknya) yang dapat diuji melalui logika akademi. Tegasnya ketuhanan adalah suatu kebenaran yang dapat di buktikan melalui kaidah-kaidah logika. Dengan melihat adanya pembagai istilah yang di pergunakan dalam masalah ketuhanan ini dapatlah diketahui betapa besar perhatian dan usaha manusia dalam menyelidiki Ada dan Esa-Nya Tuhan.[4]
E.     Fikira memastikan adanya ketuhanan
1.      Logika dan Dialetika
Untuk mencapai tujuan dalam mencari kebenaran Ada dan Esa-Nya Tuhan, maka kita harus memulai suatu metode berpikir, suatu sistim yang memudahkan menemukan apa yang dituju secara cepat dan tepat. Metode dan sistim ialah penggunaan logika akademi.
Logika adalah bagian dari filsafat, yang mengerjakan cara berpikir secara tepat dan cepat. Logika juga di sebut “mantiq” adalah ilmu fikiran yang lurus untuk mencapai pengetahuan yang benar. Ilmu jiwa menerangkan bagaimana terjadinya sesuatu fikiran, umpama dimulai dengan adanya pengamatan sampai ke dalam otak dan bagaimana seterusnya di sana di bagian mana dari otak tempat berkumpulnya segala pengamatan dari pada panca indra.
Daya pikir manusia berada di ruang lingkup yang terbatas sebagaimana halnya daya kekuatan manusia yang lain umpama panca indra.
a.       Pengecap
b.      Peraba
c.       Penciuman
d.      Pendengaran
e.       Pengelihatan
f.       Kekuatan fisik
g.      Pemikiran[5]
2.      Hukum akal memastikan adanya Tuhan
Yang lazim di katakan hukum akal, ialah keputusan yang di ambil oleh akal dengan berpikir. Hukum akal dibagi kepada 3 bagian :
a.    Wajib
b.    Mustahil
c.    Mungkin (Jaiz)
Wajib pada akal itu ialah suatu perkara yang akal biasa memastikan adanya. Sedangkan Mustahil pada akal itu ialah suatu perkara yang akal biasa memastikan “tidak adanya”, seperti angka “tiga” dengan angka “empat”, maka akal memutuskan : tidak ada (mustahil) “tiga” lebih besar dari pada “empat”. Dan Mungkin (Jaiz) pada akal itu, ialah suatu perkara yang akal biasa menerima “adanya” atau “tidak hanya” sesuatu seperti pada suatu benda, akal menerima bahwa ia dapat bergerak pada suatu masa dan keadaan, dan tidak bergerak pada masa lain. Akal tidak memastikan benda itu “bergerak” dan tidak pula harus menrima benda itu “tidak bergerak”.[6]
F.      Sistem para ahli fikir memastikan adanya Tuhan
1.    Socrates
Adalah filosof Yunani yang hidup dalam abad keempat sebelum masehi (wafat 399 S.M ) terkenal sebagai ahli fikir dalam sejarah engetahuan mendapatkan tempat dan penghargaan sesuai dengan hasil karya dan fikirnya. Ia adalah Phitagoras yang utama, di mana terkenal dengan semboyannya: “kenalilah diri egkau dengan diri engkau sendiri”. Sebagai ahli fikir, ia turut membahas masalah ketuhanan dengan logika akademi yang simpel dengan menetapkan adanya wujud Tuhan yang wajib disembah. Sistem Socrates untuk membangunkan pengetahuan manusia tentang Tuhan memakai dua jalan. Pertama, berdasar pada bukti-bukti alam. Kedua, dengan alasan-alasan sejarah.
Melalui bukti-bukti alam dengan  membentangkan peristiwa-peristiwa alam itu sendiri, sedangkan melalui alasan-alasan sejarah dengan mengemukan tabiat manusia yang dengan sendirinya tertarik kepada adanya Tuhan yang menjadikan, mengatur dan memelihara manusia.
Dalam pada itu Socrates mengemukakan, bahwa Tuhan itu sangat besar perhatiannya kepada mahluk-mahluknya.
Ia mengemukan suatu sistem fikir dalam memastikan adanya Tuhan: Bagaimana engkau mengatakan Tuhan tidak memperhatikan mahluknya padahal engkau mengetahui bahwa Tuhan sudah memberikan sifat-sifat yang khas untuk manusia, yang tidak terdapaat pada hewan-hewan lain, yaitu berdiri di atas dua kaki. Sifat ini menyebabkan manusia dapat melihat sejauh-jauhnya dan untuk merenungkan hal yang lebih jauh dari pada itu.
Betul kaki di berikan oleh Tuhan juga kepada lain-lain hewan di atas bumi tetapi hanya untuk bergerak dan berubah tempat. Di samping itu Tuhan memberikan dua tangan pula bagi kita, supaya lebih banyak dapat berkerja dan lebih bahagia dari pada hewan-hewan yang lain.
Engkau melihat bahwa hewan-hewan yang lain pun mempunyai lidah, tetapi manusia lebih banyak kesanggupannya, dapat mengadakan berbagai suara sampai-sampai untuk menurutkan atau menggambarkan segala apa yang terselip atau terbetik dalam sanubarinya.[7]
2.    Plato
Ia adalah filosof yang hidup pada tahun 427-348 s.m. dipandang sebagai filosof yang pertama sekali menyebutkan kalimat “idealis”yang ditujukan kepada pengertian rohani semata-mata.
Sebagai murid dari Socrates, ia mengembangkan dokrit gurunya disamping menyempurnakan pemikiran-pemikirannya.
Menurut ahli fikir tersebut, perbuatan dan tingkah laku manusia, di pahamkan dengan cita-citanya, sekalipun mengerti bahwa cita-cita itu tidak bisa tercapai.
Seperti juga kita tidak bisa membuat satu ruang bersudut banyak, sehingga ia menyerupai lingkaran, sekali pun sudut-sudut itu kita tambahi sebanyak-banyaknya, begitulah juga kita tidak mungkin mencapaii cita-cita keadilan, kemanusian dan lain-lain dengan sempurna betul. Paling baik kalau kita bisa mendekati cita-cita kita itu sedekat-dekatnya.
Segala keadaan didunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu menurut Plato, dunia yang di tempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan dunia cita-cita adalah dunia yang kekal, yang tidak berubah, yang selalu dicari manusia yang berpikir dan berpengetahuan menurut ratio.
Tuhan menurut pendapat Plato, adalah pikiran yang dapat di artikan sumber segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu.[8]
G.    Pemikiran di Barat tentang ketuhanan
Dalam literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yg menyatakan adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tsb mula-mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tenteng Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
1.    Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan yang berpengaruh dlm kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditunjukkan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengruh negatif.
2.    Animisme
Disamping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yg dianggap benda baik mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sbg suatu yg aktif sekalipun bendanya telah mati.
3.    Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan dinamisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, krn terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yg lebih dari yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya.
4.    Henoteisme
Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan. Namun manusia masih mengakui Tuhan (ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan Henoteime (Tuhan tingkat Nasional).
5.    Monoteisme
Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan, satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam 3 paham yaitu : deisme, panteisme dan teisme. Evolusioner dlm kepercayaan thd Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max Muller dan EB.Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme dlm masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya  dengan orang-orang Kristen.
H.    Pemikiran Umat Islam
Pemikiran terhadap Tuhan yang melahirkan Ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, Ilmu Ushuluddin dikalangan umat islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang bersifat di antara keduanya. Aliran tersebut adalah:
1.    Mu’tazilah
Aliran ini merupakan kaum rasionalis dikalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam memahami semua ajaran dan keimanan dalam islam. Orang islam yang berbuat dosa besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada dalam posisi mukmin dan kafir (manzilah bainal manzilatain). Mu’tazilah lahir sebegai pecahan dari kelompok Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawarij.
2.    Qadariah
Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kebasan dalam berkehendak dan berbuat.
3.    Jabariah
Aliran ini merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.[9]
I.       Ketuhanan menurut para filsafat islam
1.     Al-Ghazali
 Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[10]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api[11]
2.    Al Farabi
Tuhan, menurut al Farabi adalah  al Maujud al Awwal. Baginya Allah adalah ‘sebab’ pertama bagi segala sesuatu di dunia ini.  bagi al Farabi, segala sesuatu yang bersifat  ada (maujud)  di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud dan mumkin al wujud.
Al Farabi untuk menjelaskan konsep wujudnya menggunakan teori gerak. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud  yang termanifestasikan di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta ini (mumkin al wujud). Al Farabi sebagaimana dilansir oleh Ibrahim madkour mendefinisikan Tuhan ‘Eksistensi sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan Ia selalu ada.’
Al Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-Platonism di dalam Islam. Kaitannya, dalam menerangkan Tuhan. Allah merupakan  Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang haru ada dan merupakan sebab pertama bagi setiap entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna. Ia dengan substansi-Nya, yang tidak terpisah dari wujud-Nya merupakan  akal dan aktual sekaligus  (Actualis Sensus/ ‘aql bi al-fi’li) karena ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam. Dia juga ma’qul sebagai objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah Tuhan yang Wajib al Wujud. Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak terpisah, namun merupakan bentuk aplikasi sebagaimana aksidensi bagi potensi.
Dengan argumen di atas ini, al Farabi  menjabarkan penjelasan mengenai konsep penciptaan lewat filsafatEmanasi (pancaran). Argumentasi pancaran ini pulalah yang kemudian menguatkan konsep  Wajib al Wujud –nya.  Ketika Tuhan dengan kondisi wujud (jawhar) dan esensi (dzat)yang tidak terpisah, namun berbeda (ma hiya huwa wa la hiya ghayruhu) berkehendak untuk menciptakan, perlu diketahui bahwa kehendaknyalah yang qadim. Kehendak  (iradah) Tuhan di sini, dapat dianalogikan sebagai gerak dari esensi (dzat) Tuhan kepada wujud (jawhar)-nya. Wujud itulah yang berbentuk  iradah inilah yang kemudian termanifestasikan menjadi 12 akal dalam penciptaan. Mengutip Fuad Mahbub Siraj, aktivitas Tuhan yang semacam ini menjadikan-Nya ‘Intelek Yang Merenungkan diri-Nya sendiri[12]’.
3.    Ibnu sina
Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan pendekatanontologis sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.
Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang mewajibkan daripadanya wujud. Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap  wujud wajiblah daripadanya sebab  (‘illah) yang menjadikan wujud itu ‘wujud’ (ada).
Namun, takkala  ditemukan illah’ yang membuat wujud itu‘adam, Ibnu Sina tidak serta merta menjustifikasi bahwa ‘illahitulah yang menyebabkan ‘adam-nya wujud itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap  wujud menjadi ‘wujud’ dikarenakanillah yang menyebabkan ‘wujud’  itu ada dari ‘adam (ketiadaan),maka yang akan terjadi adalah jika tidak ada ‘illah yang menyebabkannya wujud, maka wujud itu akan abadi di ‘adam(ketiadaan).
Ibnu Sina menyatakan, bahwa ‘adam’ ketiadaan adalah kondisi pertama yang dimiliki sebuah wujud sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap  wujud yang ada di dunia berasal dari ketiadaan (‘adam),dan adanya ‘illah di luar zat wujud yang bertugas ‘mengeluarkan’  wujud dari ‘adam. Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin al wujud.
Ibnu Sina menerangkan tentang  Wajib al wujud  sebagai Esensi mutlak yang menjadi ‘illah pertama dari segala   macam pergerakan yang ada di alam. ketika sesuatu wujud membutuhkan ‘illah yang berada di luar zatnya (illah), tidak mungkin juga bersifat  mumkin al wujudsebagai zatnya. disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Ibnu Sina, searah dengan al Farabi juga sepakat akan argumen yang menolak persamaan substansi-aksidensi, esensi-wujud. Dengan konsekuensi kesepakatan atas perihal  potensi-aksidensi. Dengan itu Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan konsekuensi dari kehendak Tuhan yang termanifestasi di dalam wujud-wujud alam semesta, dari pada penciptaan yang kosong (creation ex nihilo).[13]
4.    Al Kindi
Tuhan menurut Al-Kindi adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Filsafat menurutnya, adalah menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat al-Kindī adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung pendekatan yang teistik.
kosmologis tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat Pertamanya adalah tentang keesaan.
menjelaskan bahwa tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda di alam ini merupakanjuz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat, hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikatkulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang bersifat universal dalam bentukgenus dan spesies.
            Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai bentuk mahiyah karena Tuhan tidak termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Al-Kindī, secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan, al-Kindī  masih terpengaruh oleh Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia.[14]
5.    Al Razi
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya Lima Kekal, yakni al-Bāry Ta’āla (Allah Ta’āla),al-Nafs al-Kulliyyat (Jiwa Universal), al-Hayūla al-Ūla (Materi Pertama), al-Makān al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamān al-Muthlaq (masa absolut).
a.       .    Al-Bāry Ta’āla
Menurut Al-Razi Allah Maha Pencipta dan Pengatur seluruh alam diciptakan Allah bukan dari tidak ada (creation ex nihilo), tetapi dari bahan yang telah ada. Oleh karena itu, menurutnya alam semesta tidak kadim, baharu, meskipun ,materi asalnya kadim, sebab penciptaannya di sini dalam arti disusun dari bahan yang telah ada[51]. Penciptaan dari tiada, bagi Al-Razi, tidak dapat dipertahankan secara logis. Pasalnya, dari satu sisi bahan alam yang tersusun dari tanah, udara, air, api, dan benda-benda langit berasal dari materi pertama yang telah ada sejak azali. Pada sisi lain, jika Allah menciptakan alam dari tiada, tentu ia terikat pada penciptaan segala sesuatu dari tiada karena hal ini merupakan modus perbuatan yang paling sederhana dan cepat. Namun kenyataanya, penciptaan seperti itu suatu hal yang tidak mungkin.[15]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa:
Tuhan menurut para filosof dahulu memiki banyak definisi, di dunia barat banyak Animisme,Dinamisme politeisme, honoteisme dan monoteisme.dan masih banyak lagi seperti menurut berbagai filsuf seperti Al ghazali, Al kindi, Al farabi, Ibnu sina dan Al razi. Wujud Tuhan itu adalah eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia. Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang dinamakan wahyu. Proses keberadaan antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya. Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan










Daftar kepustakaan

al-ahwani, ahmad fuad;. (1997). filsafat islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.
asy'arie, musa. (1999). filsafat islam. Yogyakarta: LESFI.
dkk, poewartana. (1988). seluk beluk filsafat islam. Bandung: CV Rosda.
hamka. (1985). filsafat ketuhanan. Surabaya: Karunia.
hanafi, ahmad. (1989). pengantar filsafat islam. Jakarta: bulan bintang.
muhammdi, Usman. A. (Jakarta). pengantar studi islam. 1964: Pustaka Agus Salim.
oliver leaman. (1989). pengantar filsafat islam. Jakarta: Rajawali.
taib thahir abdul muin. (1966). ilmu mantiq. Jakarta: Penerbit Wijaya.
ya'qub, hamza. (1992). Filsafat Agama. Jakarta: Pedoma ilmu jaya.
zar, sirajuddin. (2004). filsafat islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Hamka,filsafat ketuhanan,(Surabaya: Karunia,1985), hal 31
[2] Musa asy’arie,Filsafat Islam,(Yogyakarta: LESFI,1999), cet ke-1 hal 150
[3] Ibid,. Hal 171
[4] Hamza ya’qub,Filsafat Agama,(Jakarta,pedoman ilmu jaya: 1992), hal. 09
[5] Ibid,. Hal 19-21
[6] Ibid,. Hal.24
[7] Usman El-Muhammadi,pengantar studi Islam,(Jakarta: Pustaka Agus Salim,1964),Hal 56
[8] Taib thahir abdul muin,ilmu mantiq,(Jakarta: penerbit wijaya, 1966),hal. 64
[9] Ahmad Fuad al-ahwani,Filsafat Islam,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),cet ke-8. Hal 27
[10]Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV ROSDA, 1988), hlm. 172.

[11] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176
[12] Ibid,. Hal 179
[13] Ahmad hanafi,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1996).hal. 86
[14] Oliver leaman,Pengantar Filsafat Islam,(Jakarta: Rajawali, 1989).hal 98


[15] Ibid,. Hal 90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar