Shalat id`ain
Fiqih Ibadah
Dosen
Pembimbing:
Drs. Abdul hamid M,pd
Disusun oleh:
Febriansyah
Prodi:
Epi 2A
Program
Studi Perbankan Syariah
Jurusan
Syariah dan Ekonomi Islam
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Curup
2014
A.
Shalat ‘idain
Yang
di maksud solat ‘idain yaitu shalat idul fitri dan shalat idul adha. Shalat
idul fitri di lakukan setiap tanggal 1 syawal , sedangkan shalat idul adha
dilakukan setiap 10 julhijjah . waktu keduanya, yakni antara semenjak terbitnya
matahari sampai condong ke barat . namun di sunahkan mengawalkaan (lebih pagi)
shlat idul adha dan sedikit mengakhirka shalt idul fitri sebagaimana yang di
terangkan dalam hadits dari jundub :
Artinya : “ nabi Saw shalat bersama-sama kami pada
hari raya idul fitri ketika matahari etinggi dua tombak dan pada hari ray idul
adha ketika matahari setinggi satu
tombak “ (H.R Ahmad bin hasan banna)
Shalat idain baik idul fitri maupun idul adha, masing-masing hanya
dua rakaat dan di lakukan dengan berjamaah,boleh di masjid dan boleh pula di
tanah lapang. Hanya saja menurut ulama syafi’iyah lebih utama di lakukan di
masjid, manakala masjid dapat menampung para jamaah. Al-hafidh mengatakan bahwa
dasar dari pendapat ini adalah berkisar pada sempit dan luas nya masjid, bukan
semata-mata karena keluarnya ke tanah lapang itu sendiri, sebab yang di
kehendaki adalah terlaksananya jamaah dari pada para penduduk. Oleh karena itu
jika hal itu sudah dapat di laksanakan (ditampung) di masjid, maka itulah yang
lebih utama.[1]
Sedangkan menurut imam malik, shalat idain lebih utama di kerjakan
di tanah lapang, selagi tidak hujan, sebab rasulullah saw selalu mengerjakannya
di tanah lapang.
Hal ini di maksudkan untuk menyemarakkan dan menampakan syiar agama
islam dengan mengumpulkan penduduk setempat di suatu tempat yang telah di
tentukan. Kalau pada shalat jum’at yang berkumpul hanya laki-laki saja, maka
pada shalat id di anjurkan baik laki-laki atau perempuan, sekali pun mereka
sedang dalam keadaan haid. Bagi wanita yang sedang haid,tidak ikut melaksanakan
shalat tetapi hanya mendengar khotbah saja. Dalam hadist nabi dari umi athiyah
disebutkan [2]
Artinya : dari umi athiyah, dia berkata : rasulullah Saw menyuruh kami keluar
pada hari raya fitri dan adha (yang terdiri dari) budak, wanita haid, dan orang
lemah. Wanita haid mesti menghindari shalat. Mereka boleh menyaksikan kebaikan
dan mengajak (dakwah) kaum muslimin. Aku (umu athiyah) bertanya : di antara
kami ada yang tidak mempunyai jilbab ? (rasulullah) menjawab : hendaklah dia
memakai jilbab saudaranya (muttafaq ‘alaih)
Dalam pelaksanaan shalat idain,pada rakaat pertama setelah
takbiratul ihram dan membaca doa iftitah, disunatkan takbir tujuh kali,dan pada
rakaat yang kedua setelah takbir intiqal di sunatkan takbir lima kali. Di terangkan
dalam hadits dari “ami bin ‘AUF Al-muzani sebagai berikut :
Artinya : bahwa nabi Saw bertakbir pada shalt idain, pada rakaat yang pertama
tujuh kali sebelum membaca surat AL-fatihah,dan pada rakaat yang kedua lima
kali sebelum membaca surat Al-fatir takbihah (H.R Tarmidzi
B.
Fasal tentang shalat hari raya
Shalat dua
hari raya itu sunnat mu’akad, terdiri dari dua raka’at, pada raka’at petama bertakbir
tujuh kali selain takbiratul ihram, dan lima kali pada raka’at kedua, selain
takbir berdiri dan bangkit
Sesudah
shalat (imam) membaca dua khutbah, bertakbir sembilan kali dalam khutbah yang
pertama dan tujuh kali dalam khutbah yang kedua. (pada hari fitri di sunnatkan)
membaca takbir (takbiran) sejak dari terbenamnya matahari pada malam hari raya,
sampai imam mask dalam shalat. Dan pada hari ray Adha (disunnatkan membaca di
belakang shalat fardu sejak subuh hari Arafah,samapai Ashar terakhir hari
tasyriq. [3]
C.
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha
Hukum Shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah mu'akkad. Shalat
ini disyariatkan pada tahun pertama hijrah. Nabi senantiasa mengerjakannya dan
memerintahkan kepada seluruh umatnya, baik laki – laki maupun wanita untuk
keluar menuju tempat shalat 'id. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
memerintahkan hal itu melalui firman-Nya :
!$¯RÎ) »oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù
y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak maka
dirikanlah shalat karena Allah dan berkurbanlah.”(Al – Kautsar 1 – 2).
Shalat 'Ied merupakan salah satu syi'ar islam, sekaligus sebagai
salah satu penampilan yang di dalamnya memperlihatkan bukti keimanan yang kuat.
D. Waktu Pelaksanaan Shalat Idul Fitri
Dan Idul Adha
Waktu pelaksanaan shalat 'Ied ini
berawal sejak matahari mulai meninggi sampai tergelincir secara sempurna.
Adapun bagi shalat idul adha lebih diutamakan untuk dikerjakan pada awal waktu,
sehingga memungkinkan bagi para jamaah untuk menyembelih hewan kurbannya
setelah mengerjakan shalat. Hal ini didasarkan pada hadits dari Al-Barra', di
mana ia menceritakan ; aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah seraya
bersabda :
“
Sesungguhnya sesuatu yang kami awali pada hari ini adalah mengerjakan shalat,
kemudian kembali pulang dan menyembelih kurban. Barangsiapa mengerjakan hal
itu, maka ia telah menjalankan sunnah kami.”(HR
Imam Al- Bukhari).[4]
Sedangkan pada hari raya idul fitri dianjurkan untuk mengakhirkan
waktu pelaksanaan shalat, supaya kaum muslimin dapat mengeluarkan zakat fitrah
mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari Jandib ra:
“
Nabi pernah mengerjakan shalat idul fitri bersama kami dan pada saat itu
matahari setinggi dua tombak. Sedangkan pada shalat idul adha, matahari baru
setinggi satu tombak.”(HR Ibnu Hajar).
Syaikh
Abu Bakar Al – Jazairi juga menjelaskan bahwa waktu shalat 'Ied dimulai dari
terbit matahari sepenggal galah hingga tergelincir. Dianjurkan melaksanakan
shalat idul adha di awal waktu, agar orang bisa menyembelih hewan kurbam.
Adapun shalat idul fitri sebaiknya diakhirkan agar orang punya kesempatan
mengeluarkan zakat fitrah (Minhajul Muslim 278).[5]
E.
Tata Cara Pelaksanaan
Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Adapun
tata cara pelaksanaan sholat idain, yaitu :
1. Dilaksanakan secara berjamaah
2. Tidak didahului azan dan iqamat sebagaimana
sabda Rasulullah ;
"Tidak
ada azan bagi sembahyang Hari Raya Fitrah (Aidilfitri) dan sembahyang Hari Raya
Korban (Aidiladha). jga tiada iqamat." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Jumlah rakaatnya adalah 2 rakaat
Hal
ini didasarkan pada riwayat Umar ra.”shalat ketika bepergian itu dua rekaat,
sholat idul adha dua rakaat, dan shalat idul fitri dua rakaat. Bentuknya
sempurna dan bukan qashar, berdasarkan sabda Muhammad saw,” (HR Ahmad 1/37,
Nasa'i 3/183, Baihaqy 3/200 dengan sanad yang shahih).
4. Membaca takbir tujuh kali pada rakaat
pertama, dan takbir lima kali pada rakaat yang kedua.[6]
Takbir
tujuh kali dalam rakaat yang pertama tersebut tidak termasuk takbiratul ihram.
Demikian juga takbir lima kali dalam rakaat yang kedua tidak termasuk takbir
intiqal saat berdiri dari sujud. Takbir tujuh kali pada rakaat yang pertama
dibaca setelah membaca doa iftitah, sedangkan takbir lima kali dalam rakaat
kedua dibaca ketika sudah berdiri sempurna pada rakaat yang kedua sebelum imam
membaca surat Al Fatihah. Di sela-sela takbir tujuh kali pada rakaat pertama
dan lima kali pada rakaat kedua tersebut disunahkan untuk membaca lafaz :
Subhanallah walhamdulillah walaailaaha illallah allahuakbar "Mahasuci Allah
SWT, segala puji bagi Allah , tiada Tuhan selain Allah SWT, dan Allah
Mahabesar"
5. Imam mengeraskan bacaan (jahran)
6. Setelah shalat Id dilanjutkan dengan
khutbah[7]
F.
Adab – adab
1. Tanpa Adzan dan Iqamah
Shalat
‘Ied dikerjakan tanpa dikumandangkan adzan dan juga iqamat. Hal ini berdasarkan
pada hadist dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dimana ia berkata :
“Tidak pernah dikumandangkan adzan pada hari raya idul fitri dan
juga idul adha”.(HR Muttafaqun Alaih).
2. Di sunnahkan mandi, memakai wewangian dan berpakaian baik
Mandi
pada pagi hari sebelum berangkat untuk menunaikan shalat 'Ied adalah amalan
yang sunnah. Waktu disunnahkannya mandi tersebut dimulai sejak pertengahan
malam. Bagi para wanita muslimah dianjurkan memakai wewangian ketika
mengerjakan shalat 'ied dan mengenakan pakaian yang baik. Akan tetapi,
pemakaian wewangian itu tidak boleh berlebihan, sehingga tidak terjerumus ke
dalam perbuatan dosa. Dari Annas bin Malik ra, ia menceritakan :
“Pada hari raya idul fitri dan idul adha, Rasulullah memerintahkan
kami untuk mengenakan pakaian terbaik yang kami miliki dan memakai wewangian
yang terbaik yang ada pada kami, serta berkurban dengan binatang yang tergemuk
yang kami punyai.”(HR Al - Hakim)
3. Makan sebelum melaksanakan shalat idul fitri
Disunnahkan
untuk memakan beberapa buah kurma yang jumlahnya ganjil sebelum berangkat
menuju tempat pelaksanaan shalat idul fitri. Hal ini didasarkan pada hadits
yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, dimana ia menceritakan :
“Rasulullah saw tidak berangkat shalat pada hari raya idul fitri,
sehingga beliau memakan beberapa buah kurma.”
Murajja'
bin Raja' mengatakan : Ubaidillah pernah memberitahukan kepadaku, di mana ia
menceritakan; Anas bin Malik ra pernah memberitahukan kepadaku dari Nabi saw : “bahwa
beliau memakan kurma itu dalam jumlah ganjil.”(HR Imam Al – Bukhari).
4. Makan setelah melaksanakan shalat idul adha
Makan
pada hari raya idul adha disunnahkan setelah mengerjakan shalat 'Ied. Jika
Allah swt memberikan kemurahan untuk berkurban, maka kita diperbolehkan untuk memakan
hati dari hewan yang kita kurbankan tersebut. Seperti halnya para penghuni
surga, di mana makanan yang pertama kali disuguhkan kepada mereka ketika
memasuki surga adalah hati ikan paus. Dari Buraidah ra, diceritakan :
“Bahwa Nabi tidak berangkat shalat pada hari raya idul fitri
melainkan setelah makan, dan beliau tidak makan pada hari raya Idul adha,
melainkan setelah kembali dari shalat.”(HR Imam
At-Tirmidzi, Ibu Majah dan Imam Ahmad).
5. Menempuh jalan yang berbeda
Disunahkan
untuk berangkat ke tempat pelaksanaan shalat 'Ied melalui suatu jalan dan
kembali pulang menempuh jalan yang lain. Hal ini sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan dari Jabir ra, dimana ia bercerita :
“Apabila berangkat shalat 'ied, Nabi menempuh jalan yang berbeda
dengan jalan lyang beliau tempuh pada saat pulang.”
(HR Imam Al – Bukhari).
Ibnul
Qyyim al – Juziyah (dalam Al Izzah)menerangkan pengertian “menempuh jalan
lain” yaitu : beliau pergi melalui sebuah jalan dan pulang melalui jalan
lain. Diantara hikmahnya adalah untuk menmpakkan syiar islam.
6. Berangkat ke tempat pelaksanaan shalat
Disunnahkan
bagi wanita muslimah untuk berangkat ke tanah lapang pada saat hendak
melaksanakan shalat idul fitri maupun idul adha. Sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah saw, para sahat dan tabi'in.
Dari
Sa’ad ra bahwa Nabi saw keluar menuju lapangan dengan berjalan kaki, dan beliau
pulang juga dengan berjalan. (HR. Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
Ali
bin Abi Thalib ra mengatakan, “Termasuk sunnah: keluar menuju lapangan
dengan jalan kaki dan makan sebelum berangkat (Idul Fitri).” (HR.
At-Turmudzi dan Ibnu Majah; dishahihkan Al-Albani)
7. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat idul fitri dan idul
adha.
Tidak
ada satu dalil pun yang menetapkan adanya shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat
'ied. Nabi saw dan juga para sahabatnya tidak pernah mengerjakan satu raka'at
pun shalat sunnah sebelum maupun sesudah shalat 'ied.
Dari
ibnu abbas ra, ia berkata :
“Rasulullah pernah berangkat untuk menunaikan shalat pada hari raya,
lalu beliau mengerjakan shalat dua raka'at (yaitu shalat 'ied) dan tidak
mengerjakan shalat yang lain sebelum maupun sesudahnya.”(HR Jamaah).
8. Mengucapkan selamat pada hari raya
Disunnahkan
bagi kaum muslimin danmuslimat pada hari raya ini memberikan ucapan selamat.
Hal ini berdasarkan pada hadits dari Jubair bin Nufail, di mana ia berkata:
“Apabila para sahabat Rasulullah saw bertemu pada hari raya, maka
mereka saling mengucapkan : Taqobballahu Minna wa minka.”(Al – Hafidz Ibny Hajar mengatakan, isnad hadits ini berstatus
hasan)
9. Khutbah Setelah Shalat ‘Ied
Dari
Ibnu ‘Umar, ia mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ – رضى الله عنهما – يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Nabi saw dan
Abu Bakr, begitu pula ‘Umar biasa melaksanakan shalat ‘ied sebelum khutbah.”(HR
Bukhari dan Muslim)
G.
Beberapa kesalahan dalam pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha
Wahid
abdus salam bali menyebutkan beberapa kesalahan dalam pelaksanaan shalat idain,
diantaranya :
1. Mengkhususkan hari raya untuk qiyamullail
Adapun
mengkhususkan satu malam tertentu untuk qiyamullail dengan asumsi bahwa malam
itu memiliki keutamaan dibandingkan malam – malam yang lain, tanpa disertai
dalil syara’ merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan.
2. Pergi ke makam pada hari raya
Setelah
selesai melaksanakan shalat ‘ied, sebagian kaum muslimin ada yang pergi ke
makam – makam untuk menziarahi kubur kerabat atau temannya pada hari raya.
Sebagian yang lain ada yang mengakhirkan ziarah kuburnya pada sore harinya.
Kedua hal ini merupakan kesalahan.
Syaikh
Ali Mahfuzh rahimahullah menuturkan :”diantara praktik – praktik bid’ah adalah
kesibukan kaum muslimin seusai shalat ‘ied dengan berziarah ke makam – makam
para wali ataupun makam para kerabat sebelum mereka pergi ke keluarga mereka.
Dahulu, Rasulullah saw keluar bersama para sahabat beliau ke padang
sahara untuk melaksanakan shalat ‘ied. Beliau pergi melewati satu jalan dan
pulang melewati jalan yang lain. Tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan bahwa
beliau berziarah ke suatu makam selama kepergian dan kepulangan beliau, padahal
ada banyak makam yang berada disepanjang perjalanan beliau.”
3. Berjabat tangan dengan bukan mahram pada hari raya
Pada
hari raya memang disunnahkan untuk mengunjungi kaum kerabat dan
bersilaturrahim. Akan tetapi, dalam kunjungan – kunjungan ini terkadang terjadi
hal – hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya saling berjabat tangan
dengan yang bukan mahramnya.
Ar
– ruyani telah meriwayatkan dengan sanad jayyid, dari Ma’qal bin Yasar ra.
Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: sungguh lebih baik kepala seorang laki –
laki ditusuk dengan jarum besi daripada menyentuh wanita yang tidak halal
baginya.(HR Ar-Ruyani (II/227) dan ditetapkan ke-shahihannya- oleh
Al-Albani dalam Ash – Shahihah hlm. 226.hadis ini shahih)
4. Keyakinan bahwa hewan betina
tidak boleh untuk berkorban
Sebagian
orang mengira bahwa binatang betina tidak boleh dipakai untuk berkurban.
Keyakinan ini salah, sebab sebagaimanan halnya hewan jantan dan betina tetap
boleh digunakan untuk berkurban.
5. Mengambil bulu dan kuku hewan kurban
Barangsiapa
yang telah berniat untuk berkurban, maka ia tidak boleh mengambil sedikit pun
dari anggota tubuh hewan kurban, baik bulu maupun kukunya, sejak awal bulan
Dzulhijjah hingga waktu penyembelihan. Hal ini didasarkan pada hadis Ummu
Salamah ra. Bahwasanya Nabi saw bersabda : barangsiapa yang telah melihat
hilal (tanggal satu) bulan Dzulhijjah dan dia ingin berkurban, maka janganlah
mengambil bulu ataupun kukunya hingga ia menyembelihnya (HR An- Nasa’i).[8]
H.
Apabila Hari Raya Bertepatan dengan Hari Jumat
Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat maka kaum lelaki
diberi keringanan untuk tidak menghadiri shalat jumat.
Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau bertanya
kepada Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, “Apakah kamu pernah mengalami
hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bertepatan dengan hari Jumat?” Zaid menjawab, “Ya.” Mu’awiyah bertanya, “Apa
yang beliau lakukan?” Zaid menjawab, “Beliau shalat id dan memberi keringanan
untuk tidak hadir shalat jumat. Beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin shalat
jumat, silakan shalat jumat.” (HR. Abu Daud; dishahihkan Al-Albani)
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Telah terkumpul di hari kalian ini dua hari raya.
Barangsiapa yang ingin meninggalkan jumatan maka shalat id ini telah cukup
baginya untuk meninggalkan shalat jumat. Namun kami akan melaksanakan shalat
jumat.” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i; dishahihkan Al-Albani)
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa suatu ketika terkumpul dua hari
raya (dalam sehari) di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian beliau mengimami masyarakat dan bersabda, “Barangsiapa yang ingin
mendatangi shalat jumat maka silakan datang, dan barangsiapa yang ingin tidak
shalat jumat silakan tidak shalat jumat.” (HR. Ibnu Majah; dishahihkan
Al-Albani)
Keterangan:
1. Yang dimaksud “dua hari raya” pada
hadits-hadits di atas adalah hari raya Idul Adha dan hari Jumat. Keringanan
meninggalkan shalat jumat hanya khusus untuk orang yang sudah melaksanakan
shalat id. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat id, dia wajib mengikuti
shalat jumat. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits dari Mu’awiyah dan
hadits Abu Hurairah ra. Bagi orang yang tidak melaksanakan shalat jumat, maka
wajib baginya melaksanakan shalat zuhur empat rakaat, karena shalat zuhur
adalah kewajiban asal ketika tidak shalat jumat.
2. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Bagi petugas
shalat jumat (yaitu khatib dan muazin), kewajiban shalat jumatnya tidak gugur,
menurut pendapat yang benar. Berdasarkan sabda Nabi saw, “Namun kami akan
melaksanakan jumatan.” Jika khatib dan petugas jumatan tidak datang, ini akan
menghalangi orang lain yang wajib mengikuti jumatan (mendengarkan khutbah jumat
dan mendirikan shalat jumat) untuk melaksanakan jumatan, berbeda dengan
masyarakat umum yang boleh tidak jumatan.” (Al-Mughni: 2/212, Ibnu
Qudamah)
I. Halal bi halal
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai sesuatu yang bukan
haram; sedangkan haram merupakan perbuatan yang mengakibatkan dosa dan ancaman
siksa.
Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram. Empat yang pertama termasuk kelompok halal (termasuk yang
makruh, dalam arti, yang dianjurkan untuk ditinggalkan). Nabi saw bersabda,
“Abghadu al-halal ila Allah, ath-thalaq” (Halal yang paling dibenci Allah
adalah pemutusan hubungan suami-istri). Jikalau halal bihalal diartikan dalam
konteks hukum, sebaiknya kata halal pada konteks halal bihalal tidak dipahami
dalam bihalal pengertian hukum. Dalam Al-Quran, kata halal terulang sebanyak
enam kali. Dua di antaranya pada konteks kecaman, yaitu:Katakanlah,
“Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu
jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Apakah Allah telah
memberikan izin kepadamu ataukah kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”
(QS Yunus [10]: 59).
Janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta, “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. (Itu adalah) kesenangan sementara
yang sedikit, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS
Al-Nahl [16]: 116-117).
Kesan apakah yang dapat diperoleh dari ayat ini? Paling tidak,
terdapat kecaman terhadap mereka yang mencampurbaurkan antara yang halal dan
yang haram. Jika yang mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan
siksa yang pedih, lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah
haram.[9]
Empat halal lainnya yang tersebut dalam Al-Quran mempunyai dua ciri
yang sama, yaitu:
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
a. Dikemukakan dalam konteks perintah makan (kulu),
b. Kata halal digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan ketiga ayat berikut
$ygr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ wur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ
Kulu
mimma fil ardhi halalan thayyiban (Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi) (QS Al-Baqarah [2]: 168)
Wakulu mimma razaqakamullah halalan thayyiban… (Dan makanlah makanan
yang halal lagi baik, dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu) (QS Al-Ma-idah [5]: 88)
Fakulu mimma razaqakumullahu halalan thayyiban (Maka makanlah yang
halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu) (QS An-Nahl [16]: 114)
Kata makan dalam Al-Quran sering diartikan “melakukan aktivitas apa
pun.” Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan
kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat di atas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitasnya
tidak sekadar halal, tetapi juga harus thayyib (baik). Jika dikembalikan pada
empat jenis halal yang diperkenalkan oleh hukum Islam, maka yang makruh tidak
termasuk dalam kategori halalan thayyiban.[10]
Al-Quran menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallaha yuhib)
sebanyak delapan belas kali, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Masing-masing sekali untuk at-tawabin (orang yang bertobat),
ash-shabirin (orang-orang sabar) dan shaffan wahida (orang yang berada dalam
satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua kali terhadap al-mutawakkilin (orang yang berserah
diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang-orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin (orang yang bertakwa)
dan al-muqsithin (orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak
mengisyaratkan bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin
(orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang pernah melakukan
kesalahan). Hal ini sesuai sekali dengan perintah Al-Quran untuk melakukan
perbuatan halal yang baik, tidak sekadar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Quran surat Ali-’Imran ayat 134 diisyaratkan
tingkat-tingkat terjalinnya keserasian hubungan.
Mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka
senang (lapang) maupun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan
memaafkan orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik terhadap mereka).
Sesunguhnya Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang yang
bersalah).[11]
Di sini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap
kedua memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang
yang bersalah.
Minal ‘Aidin Wal Faizin
Salah satu ucapan populer dalam konteks Idul Fitri ada Minal ‘Aidin
wal Faizin. Kata-kata “Minal Aidin wal Faizin” adalah penggalan sebuah doa dari
doa yang lebih panjang yang diucapkan ketika kita selesai menunaikan ibadah
puasa yakni : “Taqabbalallahu Minna Wa Minkum Wa Ja’alanallahu Minal ‘Aidin Wal
Faizin” yang artinya “Semoga Allah menerima (amalan-amalan) yang telah aku dan
kalian lakukan dan semoga Allah menjadikan kita termasuk (orang-orang) yang
kembali (kepada fitrah) dan (mendapat) keberuntungan (kemenangan)”.
Sehingga arti sesungguhnya dari “Minal Aidin wal Faizin” adalah
“Semoga kita termasuk (orang-orang) yang kembali (kepada fitrah) dan (mendapat)
keberuntungan (kemenangan)”.
Dari segi bahasa, minal ‘aidin dapat diartikan dengan “(semoga kita)
termasuk orang-orang yang kembali”. Kembali di sini dimaksudkan kembali kepada
fitrah manusia, yaitu “asal kejadiannya” atau “kesucian”. Bisa juga berarti
“agama yang benar”.
Setelah berlalunya Ramadhan, bulan untuk mengasah dan mengasuh jiwa
dengan berpuasa, kita saling berharap bisa kembali ke asal kejadian kita,
kembali ke dalam keadaan yang suci seperti saat kita dilahirkan dulu, serta
bisa kembali mengamalkan ajaran agama yang benar.
Sedangkan kata al-faizin adalah bentuk jamak dari faiz, yang berarti
orang yang beruntung. Kata ini terambil dari kata fauz yang berarti
keberuntungan. Dalam konteks dan maknanya, ayat-ayat yang menggunakan kata
fawz, seluruhnya (kecuali dalam QS 4: 73), berarti “pengampunan dan keridhaan
Allah SWT serta kebahagiaan surgawi”. Karena itu, Wal faizin hendaknya dipahami
sebagai harapan dan doa, semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh
keberuntungan berupa memperoleh ampunan dan ridha Allah swt sehingga kita semua
mendapat kenikmatan surga-Nya.
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#s ÏNöqpRùQ$# 3 $yJ¯RÎ)ur cöq©ùuqè? öNà2uqã_é& tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# ( `yJsù yyÌômã Ç`tã Í$¨Y9$# @Åz÷é&ur sp¨Yyfø9$# ôs)sù y$sù 3 $tBur äo4quyÛø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇÊÑÎÈ
“Barangsiapa
yang dijauhkan –walaupun sedikit– dari neraka, dan dimasukkan ke dalam surga,
maka sungguh dia telah beruntung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 185).
Jadi, minal ‘aidin wal faizin adalah doa untuk kita semua, agar kita
dapat kembali menemukan jati diri kita dan agar kita bersama memperoleh
keberuntungan berupa ampunan, ridha, dan kenikmatan surgawi.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Al izzah
edisi khusus idul fitri
http://radenbeletz.com/halal-bihalal-idul-fitri-minal-aidin-wal-faizin-dalam-tafsir-al-quran.html
http://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/972/panduan-ringkas-idul-fitri
Muhammad
Uwaidah, Syaikh Kamil. 1998. Fiqih wanita. Jakarta : Al – Kautsar
Wahid
abdus salam bali. 2006. 474 Ibadah Salah Kaprah. Jakarta : amzah
[9] http://radenbeletz.com/halal-bihalal-idul-fitri-minal-aidin-wal-faizin-dalam-tafsir-al-quran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar