Senin, 14 Juli 2014

hiiihhhih


hoooop

Tanggal 23 juni 2014 saya kembali ke kampus setelah libur beberapa hari, memang saya ke kampus bukan karena ingin jalan-jalan namun saya ke kampus karena keperluan sebuah organisasi yang saya ikuti di dalam kampus tersebut dan saya juga senang datang ke kampus karena bertemu dengan teman-teman sehingga bisa berbagi canda dan tawa. Memang hari ini saya sangat senang sekali karena bertemu sahabat yang baik yang bisa membuat saya tertawa. Sehingga saya dalam beberapa hari ini mungkin akan merasa senang karena bertemu dengan sahabat saya, sehingga bisa tertawa bersama namun sayang tak semua teman saya datang mungkin hanya satu dua orang saja namun saya sangat senang walaupun semuanya tidak ada di disini . mungkin ini moment yang akan saya ingin sebelum memasuki bulan suci ramadhan, dan mungkin akan menjadi sejarah baru di lebaran tahun ini, apa mungkin lebaran kali ini berbeda dengan yang sebelumnya atau sama dengan yang tahun-tahun sebelumya, saya tidak begitu mengharapkan lebarannya saya hanya berharap ada moment yang sangat indah buat saya kenang dan saya ceritakan kepada anak cucu saya nanti. Hari ini mungkin hari yang sangat senang dan sangat membuat saya kesal, saya senang bisa bertemu sahabat yang gokil-gokil namun juga saya kesal karena salah seorang teman saya yang di organisasi tersebut menujuk saya untuk bertugas di hari rabu. Saya sebenarnya tidak mau karena ini di pilih sepihak dan tidak memalalui persetujuan dari saya memang saya tidak mau melakukan ini namun saya telah di tunjuk mungkin akan saya lihat besok mampu apa tidak saya melakukan tersebut andai kata saya lari dari tanggung jawab ini mungkin saya tidak akan mungkin bisa berkembang karena saya takut akan sesuatu yang belum saya coba. 

Rabu, 18 Juni 2014

ilmu kalam



  1. 1. Kaisaniyah
Kaisaniyah adalah sekte syi'ah yang mempercayai keimamahan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali radhiyallâhu'anhuma. Muhammad bin Hanafiyah sendiri merupakan saudara kandung Husein dari lain ibu.[9] Nama Kaisaniyah diambil dari pendirinya Mukhtar bin Abi Ubaid, budak dari Khalifah Ali yang juga dipanggil Kaisan. Pendapat lain menyebutkan seperti al Baghdadi, al As'ari, Ibnu Quthaibah, Ibnu Khaliqan dan lain-lain bahwa nama Kaisan dinisbahkan kepada bapaknya Abu Ubaid ibn Mas'ud at Tsaqafi salah seorang kibar sahabat yang sangat mencintai Ali. [10] Dari kelompok ini maka terpecahlah mereka kedalam dua kelompok. Satu, kelompok yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah sebenarnya tidak mati, tetapi ghaib dan bahkan akan kembali lagi ke dunia nyata pada akhir zaman. Mereka menganggap Muhammad bin Hanafiyah adalah Imam Mahdi yang dijanjikan itu. Diantara kelompok ini adalah al Karabiyah, pengikut Abi Karb ad Dharir. Kedua, adalah mereka yang mempercayai Muhammad bin Hanafiyah telah meninggal, akan tetapi jabatan imamah beralih kepada Abi Hasyim bin Muhammad bin Hanafiyah. Yang termasuk dalam sekte ini adalah sekte Hasyimiyah, pengikut Abi Hisyam. Bahkan menurut Ibnu Khaldun, penguasa Dinasti Abbasiyah pertama yaitu Abu Abbas As Saffah dan Abu Ja'far Al Mansur merupakan pecahan dari pengikut Hasyimiyah itu. Karena setelah meninggalnya Abi Hisyam, jabatan imamah berpindah kepada Muhammad bin Ali Abdullah, kemudian secara berturut-turut kepada Ibrahim al Imam, as Saffah dan al Mansur.[11]
Sekte Kaisaniyah telah lama musnah. Namun kehebatan perjuangan Muhammad bin Hanafiyah ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat. Di Indonesia dan rumpun Melayu, terlebih lagi orang-orang aceh, mereka mengenalnya dengan Hikayat Muhammad bin Hanafiyah. Di Makkah sendiri, hikayat ini telah dikenal sejak abad ke 15 M.[12]

2. Syi'ah Zaidiyah
Sekte Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali Zainal Abidin (Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin / Zaid bin Ali As Sajjad). Zaid merupakan saudara kandung Abu Ja'far Muhammad Al Baqir putera dari Ali bin Husein Zainal Abidin. Beliau  merupakan tokoh alhul biat yang terkenal memiliki keilmuan, kefaqihan dan kewara'an yang tinggi. Tentang Zaid bin Ali zainal Abidin ini, para ulama semisal Ibnu Hibban menyebutkan profilnya dalam kitab At Tsiqah (Jilid I, hlm 146), dan beliau mengatakan, al Jama'ah meriwayatkan darinya (Zaid), serta dari para sahabat Rasulullah. Demikian pula Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa'i dalam "Musnad 'Ali."[13]
Dimasa Zaid inilah, sekte Syi'ah yang dikenal dengan Syi'ah Rafidhah mulai dikenal. Al Hafidz Ibnu Katsir di dalam Al Bidayah menceritakan sebuah riwayat tentang penolakan sebagian pengikut Ali di Kuffah untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma. Al Hafidz menyebutkan kedatangan para penganut syi'ah dari penduduk kota Kuffah kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin seraya bertanya; "Apa pendapatmu yarhamukallâh tantang Abu Bakar dan Umar ?. Zaid berkata; "Semoga Allah mengampuni keduanya, aku tidak pernah mendengar seorangpun dari Ahlul Baitku yang berlepas diri kepada keduanya. Adapun aku, tidaklah aku katakan mengenai keduanya melainkan kebaikan (keduanya baik)." Setelah mereka tidak mendapatkan jawaban yang menyenangkan hati mereka, mereka kemudian berpaling dan menolak keyakinan Zaid. Mereka ini menurut Ibnu Katsir dikenal dengan sebutan kelompok rafidhah.[14] Imam Amhad rahimahullah juga pernah ditanya oleh anaknya tentang siapa Rafidhah itu ?, maka beliau menjawab; "Mereka adalah orang-orang yang menghina dan menghujat Abu Bakr dan Umar radhiyallahu'anhuma. Juga dalam waktu lain beliau berkata; "Mereka adalah yang memusuhi Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma." Berkata pula Abul Hasan Al As'ary bahwa sesungguhnya mereka dinamakan Rafidhah karena penolakan mereka terhadap kekhaliafahan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu'anhuma.[15]
Pada tahun 122 H, Zaid sempat mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah yang terkenal dzalim. Pada saat itulah Zaid wafat dalam pertempuran yang tak seimbang. Abul A'la al Maududi menyebutkan peristiwa terbunuhnya Zaid bin Ali tersebut di dalam bukunya Al Khilafah wa al Mulk melalui penjelasan Imam At Thabari dalam Tarikh-nya (Jilid 2, hlm. 482,505). Menurut riwayat Imam At Thabari, pada tahun 120 H / 378 M Khalifah Hisyam bin Abdul Malik memecat Khalid bin Abdullah al Qasari (salah seorang pejabat di Iraq) dengan mengadakan penyelidikan dan perhitungan ketat dengannya. Maka diundanglah Zaid (sebagai seorang yang terkenal ke alimannya) dari kota Madinah ke Kuffah untuk memberikan kesaksian atas permasalahan ini. Kota Kuffah saat itu di kenal sebagai basis pendukung Ali (syi'ah) yang telah lama menantikan tokoh dari ahlul Bait untuk merubah nasib mereka dari tekanan serta kezaliman pemerintahan Umawiyah. Maka kedatangan Zaid ke kota itu menjadi sebuah momentum yang baik untuk melakukan gerakan perlawanan kepada khalifah. Maka penduduk Kuffah mengatakan kepada Zaid bahwa terdapat sekitar 100 ribu orang yang akan berada disampingnya. Oleh kerenanya di kumpulkanlah manusia sebanyak 15 ribu orang dan membai'atnya saat itu juga. Merekapun menulis nama-nama mereka dalam daftar yang panjang. Gerakan perlawanan ini ternyata berhasil tercium oleh Khalifah sebelum waktu yang ditentukan untuk melakukan perlawanan. Maka setelah mendengar informasi ini, Zaid berinisiatif untuk mendahulukan jadwal perlawanan dari yang ditetapkan lebih awal (Safar, 122 H). Namun ketika perang terjadi, pendukung Ali yang berasal dari Kuffah tiba-tiba meninggalkan Zaid sehingga hanya tersisa 218 orang saja. Dalam pertempuran inilah Zaid rahimahullah gugur. Dalam hal ini Al Imam Abu Hanifah yang hidup sezaman dengannya berkata;
"Sekiranya aku yakin bahwa rakyat akan tetap berdiri secara tulus disampingnya dan tidak akan meninggalkannya, niscaya aku juga akan ikut bersamanya dan berjuang memerangi orang-orang yang menentangnya, sebab dia adalah imam yang haq. Tetapi aku khawatir mereka akan menelantarkannya sebagaimana mereka telah berbuat terhadap datuknya (Husein bin Ali bin Abi Thalib). Bagaimanapun akau akan membantunya dengan hartaku, sehingga dia akan menjadi semakin kuat melawan musuh-musuhnya (Al Makki, Manaqib Imam A'zham Abu Hanifah, Jilid 5, hlm. 487,491)."[16]

Setelah wafatnya Zaid bin Ali Zainal Abidin para pengikutnya mengklaim beliau  sebagai imam Syi'ah yang kelima. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah (dijuluki; An Nafs Az Azzakiyah) diangkat sebagai Imam. Juga setelah ia wafat, Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai Imam. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abbasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan. Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi'ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi'ah Zaidiyah. Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Ibnu Khaldun menyebutkan, bahwa penentuan keimamahan dalam sekte Zaidiyah dapat pula melalui musyawarah ahlul halli wa al aqdi, dan bukan berdasarkan nash. Mereka juga tidak menolak prinsip Imamah al mafdhul ma'a wujud al afdhal (menerima keimamahan yang lebih rendah derajatnya, sekalipun yang lebih baik dizamannya masih ada).[17] Dalam perkembangannya Syi'ah Zaidiyah berpandangan lebih mengunggulkan kekhilafahan Ali dari khalifah Abu Bakar dan Umar meskipun kehilafahan mereka tetap diterima. Zaidiyah telah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu'tazilah dan dalam bidang furu' ia menganut paham Hanafiyah.[18] Hal ini jelas menyelisihi pandangan Zaid bin Ali dimana ia tidak mendahulukan Ali dari Abu Bakar dan Umar, serta tidak terpengaruh dengan Mazhab Mu'tazilah. Bahkan Ibnu Katsir menyebutkan perihal Zaid bin Ali yang sangat berpegang teguh dengan al Qur'an dan sunnah Nabi.[19]
Sekte-sekte yang lahir dari rahim Zaidiyah ini dikemudin hari adalah; Jarudiyah, Sulaimaniyah, dan Batriyah atau as Salihiyah.[20] Sekte Jarudiyah adalah pengikut Abi Jarud Zuyad bin al Mundziry al 'Abdi. Sekte ini menganggap Nabi Muhammad telah menentukan Ali sebagai imam setalahnya, namun tidak dalam bentuk yang tegas melainkan hanya dengan Isyarat (secara tidak langsung) atau dengan al washf (menyebut-nyebut keunggulan Ali dibandingkan lainnya). Kitab Tahdizib at Tahdzib (hlm. 386) menyebutkan dirinya sebagai al kadzâb laisa bi tsiqah dikarenakan ia termasuk dalam kelompok Rafidhah (menolak Abu Bakar dan Umar), dan termasuk orang-orang ghuluw yang melampaui batas. Sekte ini kemudian berselisih faham mengenai kepemimpinan setelah Ali dalam jumlah yang banyak.[21]
Sementara itu, sekte Sulaimaniyah adalah pengikut Sulaiman bin Jarir. Sekte ini beranggapan bahwa masalah imamah dapat ditentukan dengan syura. Namun dalam hal ini ummat telah melakukan sesalahan dalam berbai'at kepada Abu Bakar dan Umar, karena sesungguhnya ada yang lebih baik dari mereka yaitu Ali. Akan tetapi bai'at mereka tetap sah karena mereka menerima al mafdhul ma'a wujud al afdhal. Akan tetapi kelompok ini telah mengkufurkan Amirul Mu'minin Utsman bin Affan karena dianggap telah menyimpang dari Islam. Mereka juga mengkufurkan Ummul Mu'minin A'isyah, Zaid, dan Thalhah karena talah berperang terhadap Ali. Sekte ini juga dikenal dengan al Jaririyah.[22]
Pecahan lain dari sekte Zaidiyah adalah Batriyah atau as Salihiyah. Nama sekte tersebut dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Al Hasan bin Shalih Hayy atau Batriyah, dan Katsir an Nu'man al Akhtar. Mereka berdua sependapat dalam keyakinan. Secara umum, pandapat-pendapat mereka juga sama dengan sekte Sulaimaniyah, hanya saja mereka bertawaquf (tidak berkomentar) terhadap kehilafahan Utsman bin Affan. Menurut Al Baghdadi, sekte ini adalah sekte yang paling dekat dengan Sunni. Oleh karenanya Imam Muslim meriwayatkan beberapa hadits darinya dalam kitab Sahih Muslim-nya. Sementara itu kitab Tahdzib at Tahdzib menyebut Al Hasan sebagai orang yang memiliki kezuhudan, ketaqwaan dan ahli ibadah, faqih dan ahli kalam serta pembesar Syi'ah Zaidiyah yang memiliki beberapa kitab diantaranya; Kitab at Tauhîd, al Jâmi' fî al Fiqh (Tahdzib at Tahdzib, hlm. 285, Ibnu Nadhim, Fahrasat, hlm. 253).[23]

3. Syi'ah Ghulat
Syi'ah Ghulat adalah sebutan untuk kelompok syi'ah yang ekstrim. Mereka adalah pengikut Ali yang terlampau jauh melakukan pemujaan terhadap sosok dan kepemimpinan beliau. Tidak hanya itu, merek juga meyakini para imam-imam pengganti setelahnya bukan sebagai manusia biasa, melebihi kedudukan nabi, bahkan hingga ketingkat sesembahan (Ilah). Menurut Al Baghdadi, Syi'ah Ghulat telah ada sejak zaman kehilafahan sahabat Ali. Saat itu mereka memanggil beliau dengan sebutan; "Anta, Anta" yang merujuk kepada makna Tuhan. Sebahagian dari mereka mendapatkan eksekusi mati dengan cara dibakar oleh Khalifah Ali, sementara itu pemimpin mereka yang bernama Abdullah bin Saba' dibuang ke Mada'in. Pada perkembangannya, diantara mereka bahkan ada yang menyalahkan sikap Ali, mengutuk dan mendurhakakannya karena dianggap tidak menuntut kehilafahannya sepeninggalan Rasulullah.
Kelompok Ghulat dapat dikelompokkan kedalam dua golongan yaitu Saba'iyah dan al Ghurabiyah. Golongan Saba'iyah berasal dari pencetus ide-ide Syi'ah awal yaitu Abdullah bin Saba'. Nama Abdullah bin Saba' diakui oleh pembesar Syi'ah seperti Al Qummi di dalam kitabnya Al Maqâlat wa al Firâq (hlm. 10-21), sebagai seseorang yang pertamakali menobatkan keimamahan Ali dan mencela Abu Bakar, Umar dan Utsman serta para sahabat lainnya. Sebagaimana hal itu juga diakui oleh Al Kasyi dalam kitabnya yang terkenal Rijalul Kasyi (hlm. 170-174).[24] Menurut Al Bagdadi sekte As Saba'iyah menganggap Ali sebagai Tuhan. Padahal Abdullah bin Saba' sendiri merupakan tokoh penyusup dari kalangan Yahudi dari penduduk Hirrah yang mengaku-ngaku sebagai muslim.[25] Kelompok saba'iyah juga beranggapan bahwa Ali tidak dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam melainkan seseorang yang diserupakan wajahnya seperti Ali. Menurut mereka Ali telah naik kelangit dan disanalah tempatnya. Petir adalah suaranya dan Kilat adalah senyumnya.[26]
Kelompok lainnya adalah al Ghurabiyah. Prof. Dr. Ali Abdul Wahid Wafi menyebutkan, meski tak seekstrim saba'iyah dalam memposisikan Ali bin Abi Thalib hingga ke tingat Tuhan, akan tetapi kelompok ini telah menganggap Malaikat Jibril salah alamat dalam memberikan risalah Allah kepada Muhammad. Seharusnya yang menerima kerasulan itu adalah Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itulah Allah terpaksa mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya.[27]

4. Syi'ah Imamiyah
Secara garis besar, sekte Imamiyah adalah golongan yang meyakini bahwa Nabi Muhamamd telah melakukan penunjukkan yang tegas atas kepemimpinan Ali setelah beliau wafat. Oleh karena itu, mereka betul-betul menolak kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Syi'ah Imamiyah pada perkembangannya mengalami perpecahan menjadi beberapa golongan. Syi'ah Itsna Asyariyah atau Syiah 12 adalah yang tebesar, disusul Isma'iliyah. Di zaman kehilafahan Abbasiyah, keduanya memerankan perpolitikan yang cukup signifikan.
Syi'ah Isma'iliyah misalnya, kelompok ini berhasil mendirikan dinasti Fathimiyah di Mesir dan Pemimpinnya menyatakan diri sebagai Khalifah tandingan Abbasiyah setelah berhasil mengadakan beberapa pemberontakan.[28] Beberpa doktrin bermasalah yang dibawa gerakan ini diantaranya; perintah syari'at Islam hanya berlaku bagi orang awam saja, para Nabi dan Rasul hanyalah seorang mujaddid, para filusuf mampu mencapai kedudukan yang sejajar dengan Nabi dan Rasul, al Qur'an hanya dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu karena memiliki arti lahir dan arti bathin, serta hanya berfungsi sebagai pensucian jiwa saja. Keyakinan gerakan Isma'liyah yang aneh ini berakar dari perpaduan ajaran syi'ah dengan filsafat neo Platonisme, dan sufistik ala Ikhwan as Shafa.[29]
[11] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab, Sidogiri: Pustaka Sidogiri, 2008, hlm. 54
[12] Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru  Van Hoeve, 2000, Jilid V, hlm. 7
[13] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf al Mizzi, Tahdzîb al Kamal fî Asmâ' ar Rijâl, tahqiq Dr. Basyar 'Awar Ma'ruf, Beirut: Mu'assasah Ar Risâlah, 1996, Jilid, 10, hlm. 96-98
[14] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, Beirut: Dâr al Ma'rifah, 1999, Jilid 9,  hlm. 382
[15] Abdullah bin Ibrahim bin Abdulllah As Syamsan, Mauqif Ibn Taimiyah min Ar Rafidhah, Riyadh: Dar Al Fadhilah, 2004, hlm. 39
[16]Abul A'la Al Maududi, Al Khilafah wa al Mulk, terj. Muhammad al Baqir, Bandung: Mizan, 2007, hlm. 308
[17] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 55
[18] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 246
[19] Abi al Fida' Isma'il Ibnu Katsir, Al Bidâyah wa an Nihâyah, hlm. 382
[20]Terkadang namanya dinisbatkan pula kepada; an Nahdy, ats Tsaqafi, al Kufi, al Hamdhani, al Khurasani, (W. antara th. 150-160 H)
[21] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 255
[22] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 259

[23] Abi al Fath Muhammad bin Abdul Karim As Syahrastani, Al Milal wa an Nihal, Jilid I, hlm. 261
[24] Abdullah bin Saba' adalah pendeta Yahudi dari Yaman yang berpura-pura masuk Islam pada akhir pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallâhu'anhu.keberadaannya juga diakui oleh ulama Syi'ah lainnya seperti An Naubakhti, Al Kusyi, Abdullah Al Nasyi' Al Akbar (rujukan tertua bagi kaum Syi'ah) dan lain-lain termasuk buku-buku kontemporer. Lihat, Tim Penyusun, Mengapa Kita Menolak Syi'ah; Kumpulan Makalah Seminar Nasional tentang Syi'ah, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2002, hlm. 6-7
[25] Abdullah bin Muhammad, Min 'Aqa'id As Syi'ah, terj. Abu Salman, Ttp: Jaringan Pembelaan terhadap Sunnah, tt, hlm. 4
[26] Ahmad Qusyairi Isma'il, et, all, Mungkinkah Sunnah – Syi;ah dalam Ukhuwah; Jawaban atas buku Dr. Quraish Shihab, hlm. 58
[27] Ali Abdul Wahid Wafi, Ghurbatul Islâm, terj. Rifyal Ka'bah, Jakarta: Penerbit Minaret, 1987, hlm. 25. lihat juga, Ensiklopedi Islam, Jilid V, hlm. 10.
[28] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 65-66
[29] Mohammad Tohir, Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1981, hlm. 129. Isma'iliyah berpendapat bahwa pengetahuna itu ada yang lahir dan yang bathin. Sementara yang terpenting itu adalah aspek batin. Oleh kerenanya mereka juga disebut kelompok bathiniyah. Beberapa doktrin yang mereka tentukan diarahkan memperkuat posisi mereka dan mengklaim al Mahdi ada dalam keturunan Fathimiyah (mereka sendiri). Lihat; Muhammad Al Bahy, Al Fikr al Islamy fĂ® Tathawwurihi, terj. Al Yasa' Abu Bakar, Jakarta: Bulan Bintang, 1987,  hlm. 41-42








c.      Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[[1][12]] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[[2][13]]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[[3][14]]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[[4][15]]

C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT(
 Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[[5][16]]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[[6][17]]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [[7][18]]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[[8][19]]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[[9][20]]
d.  Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[[10][21]]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[[11][22]]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.

Doktrin Qadariyah pada dasarnya mengatakan bahwa segala tindakan manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri, manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
            Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan memilih. Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia pada hakikatnya adalah dari Allah semata. Meskipun diri manusia tetap mendapatkan pahala atau siksa karena perbuatan baik dan jahat yang dilakukannya. Paham bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya pahala dan siksa.

secara terminologi sebagian ulama mendefenisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari Qodariyah yang berselisih pendapat dengan umat Islam yang lain dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho’ dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al-Bashri.
 Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar
Yazid Bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)

2.        Ma`mun Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)

3.        Al-Mu`tashim Bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)

4.        Al- Watsiq Bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)

C.      Al-Ushul Al-Khamsah: Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah




Asy’ariyah
Karena adanya keragu-raguan dalam diri Al-Asy’ari yang mendorongnya untuk keluar dari paham Mu’tazilah.Menurut Ahmad Mahmud Subhi, keraguan itu timbul karena ia menganut madzhab Syafi’i yang mempunyai pendapat berbeda dengan aliran Mu’tazilah, misalnya syafi’i berpendapat bahwa Al-Qur’an itu tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti. Sedangkan menurut paham Mu’tazilah, bahwa Al-Qur’an itu bukan qadim akan tetapi hadits dalam arti baru dan diciptakan Tuhan dan Tuhan bersifat rohani dan tidak dapat dilihat dengan mata.
a.      Al-Baqilany ( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
b.      Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M )
Ads by Keep NowAd Options
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad. Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para ahli-ahli hadist. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk mengajarkan pelajaran disana. Karena itu ia mendapat gelar “Imam Al-Haramain” ( Imam kedua tanah suci, Makkah dan Madinah ) setelah Nizamul-Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah Nizamiyah di Nisabur al-Juwaini diminta kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran disana.
c.       Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegagnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulam-ulama Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
d.      As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-1499 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman ats-Tsa’laby.
Ulama Maghrib menganggap ia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu Tauhid).


Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.


Kesimplan
Berdasarkan penjelasan diatas, golongan al-Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan Samarkand dan Bukhara. Demikian pemikiran atau doktrin-doktrinnya juga berbeda, dalam masalah akal dan wahyu Maturidiyah Samarkand,bahwa akal lebih tinggi disbanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal. Sedangkan Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
Bgitu juga dengan sifat Tuhan golongan Samarkand berpendapat Tuhan mempunyai sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya. Begitu juga Tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya menwujudkan perbuatan-perbutannya. Adapun Bukhara berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan















masalah libur kuliah dan perkuliahan



Masa libur kuliah telah di mulai di hari pertama ku merasa arti libur sebenarnya bangun siang yang biasa tak pernah bisa ku rasakan karena jam kuliah yang masuk selalu pagi itu mengakibatkan saya harus bangun pagi supaya tidak telat dalam mata kuliah. Tapi setelah beberapa hari di jalani saya merasakan bosan, karena tidak ada kegiatan dan ingin mencari pekerjaan yang mungkin untuk mengisi waktu luang saya  namun sampai saat ini belum juga saya menemukan mungkin saya akan berusaha sampai perkuliahan masuk. Bosan selalu dirumah dan sampai kini  pun jarang pergi seperti anak perumahan mungkin seminggu ini saya akan berada di rumah dan setelah seminggu mungkin saya akan pergi ke kebun mungkin mencoba belajar menjadi petani untuk modal kedepan dan mengasa keterampilan dan skill saya supaya nanti tidak terbatah-batah saya menjdi petani. Saat ini saya sangat ingin kuliah supaya bisa berkumpul dengan teman-teman berbagi tawa namun libur yang tidak sebentar membuat saya harus belajar dan mempersiapkan semuanya untuk menjalani semester yang akan mungkin lebih menantang lagi pelajaran dan memperbaiki nilai-nilai yang telah tertinggal di dalam semester dua, dan belajar memperdalam ilmu Agama karena di semester tiga in banyak ilmu Agama yang di pelajari supaya saya tidak buta dalam belajar karena di dalam semester dua dan tiga saya merasa orang yang paling bodoh karena saya tidak begitu memahami ilmu Agama yang saya pelajari dan cerita-cerita munculnya ilmu yang belum saya pelajari di sekolah-sekolah saya dahulu dan mungkin saya tidak  akan mempelajari ilmu ini jika saya tidak masuk di dalam universitas yang membahas ilmu Agama. Namun saya sekali di universitas in banyak masalah-masalah yang terjadi sehingga kadang membuat saya merasa ragu dan sedikit takut akan terjadi pada kami tentang hal-hal yang terjadi pada semester yang telah sarjana namun ijazah mereka tidak di akui sehingga mereka sulit untuk mencari pekerjaan itulah mengapa saya sedikit cemas dengan masalah tersebut saya akan takut akan berdampak kepada progam pendidikan yang sedang kami jalani saat ini. Namun saya tidak lebih berpikir kepada hal itu semua karena saya berpikir saya tidak mengejar ijazah namun saya mengejarilmu-ilmu yang di berikan oleh para pengajar yang ada di universitas tersebut. Banyak yang bertanya namun saya menjawab dengan tegas bahwa jurusan yang saya ambil itu adalah jurusan yang memang saya pilih berdasarkan hati saya bukan karena tuntutan oleh orang tua, mungkin saya akan bertahan di universitas tersebut sampai saya mendapat gelar sarjana.